Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertemuan para pemimpin lembaga keuangan dari negara-negara anggota G20 di Buenos Aires, Argentina kembali menyoroti masalah perpajakan. Dalam pertemuan itu, mereka membahas soal keinginan untuk menciptakan keadilan pajak dalam ekonomi digital.
Fokus pembahasan dilakukan karena perkembangan ekonomi digital saat ini sangat mempengaruhi penerimaan pajak di setiap negara. Perusahaan-perusahaan berbasis digital yang beroperasi global, seperti Google, Facebook, dan Twitter, mendapatkan penghasilan dari seluruh negara di dunia. Namun setoran pajak dari perusahaan tersebut cenderung minim di negara yang menjadi tujuan pemasaran produk mereka.
Google misalnya. Pembayaran pajak perusahaan mesin pencari ini diketahui banyak menimbulkan persoalan di berbagai negara. Di Indonesia, pemerintah sempat kesulitan menagih pajak Google. Pemerintah menilai nilai pembayaran pajak Google terlalu kecil. Sebab di 2015, Google hanya membayar pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 5,2 miliar atau 25% dari penghasilan kena pajak (taxable income) sebesar Rp 20,88 miliar.
Ditjen Pajak menaksir, pajak yang semestinya dibayar Google mencapai Rp 450 miliar per tahun. Ini dengan asumsi margin keuntungan yang diperoleh Google dikisaran Rp 1,6 triliun hingga Rp 1,7 triliun per tahun. Margin tersebut diperoleh atas penghasilan Google di Indonesia sekitar Rp 5 triliun per tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, setelah program Automatic Exchange of lnformataion (AEoI), maka fokus kerjasama negara-negara G20 adalah transparansi perpajakan dan pajak untuk ekonomi digital.
Menurut Menkeu, saat ini semua negara menghadapi hal yang sama terkait digitalisasi ekonomi, yaitu erosi basis pajak dan kompleksitas penetapan nilai tambah. "Diharapkan, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dapat merumuskan kebijakan bagaimana memperlakukan pajak yang adil dan efektif terhadap ekonomi digital dan e-commerce," terang Menkeu dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/3).
Perumusan kebijakan ini dinilai penting, sebab para pemimpin keuangan dunia masih berbeda pandangan mengenai letak nilai tambah utama ekonomi digital. Apakah konsumen dan sumber data, atau sistem algoritma platform digital dan kegiatan e-commerce.
"Indonesia memperjuangkan posisi agar dapat memperoleh hak pajak yang adil dari perusahaan-perusahaan digital global seperti Facebook, Google, Twitter, Amazon, Lazada, Uber, Grab, dan lain-lain. Sumber pajak dan kewajiban pajak ditentukan bukan oleh lokasi kantor pusat atau cabang, melainkan oleh significant economic presence," jelas Sri Mulyani.
Pengamat perpajakan sekaligus Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, pada pertengahan Maret 2018 laporan Inclusive Framework dari negara OECD terkait pajak ekonomi digital telah dikeluarkan. Namun, alih-alih memberikan sinyal akan adanya prospek konsensus global di masa mendatang, laporan tersebut hanya memberikan kesan mengenai sulitnya mendapatkan kesepahaman dari para anggota.
Menunggu suatu konsensus yang belum jelas, maka prospeknya justru bisa merugikan bagi Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara dengan basis pasar dan user participation yang besar," terang Darussalam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News