Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. PT Sumatera Persada Energi (SPE) dapat bernapas lega. Pasalnya, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan oleh kedua krediturnya PT Palem Karya Semesta dan PT Mitra Lintas Bangsa ditolak oleh majelis hakim.
Dalam putusan yang dibacakan ketua majelis hakim Aswijon mengatakan, kedua pemohon itu berhasil membuktikan dalilnya bahwa, SPE memiliki utang sebesar Rp 12,5 miliar. Majelis juga mengakui kalau utang tersebut timbul setelah adanya homologasi SPE dengan para krediturnya tahun 2014.
Utang tersebut berawal dari kerjasama menyewa sejumlah mobil dan lahan parkir di Pekanbaru, Riau, yang dilakukan SPE dengan kedua pemohon pada 2015.
Meski begitu majelis berpendapat, jika permohonan PKPU yang diajukan PT Palem Karya Semesta dan PT Mitra Lintas Bangsa diterima, maka akan terjadi benturan dengan restrukturisasi yang sebelumnya telah disahkan pengadilan.
Sekadar tahu, pada September 2014 SPE yang merupakan perusahaan eksplorasi migas pernah divonis PKPU. Saat itu PKPU pun berakhir damai karena proposal perdamaian yang diajukan SPE diterima mayoritas kreditur.
Hal itu sesuai dengan Pasal 240 ayat 3 dan ayat 4 Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Dimana dalam Pasal 3 menyebutkan, kewajiban debitur yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitur sejauh menguntungkan.
Sementara ayat (4) tertulis, persetujuan yang diberikan oleh pengurus, debitur dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga hanya dalam rangka meningkatkan nilai hartanya. "Majelis menilai, perjanjian keduanya harus mendapat persetujuan pengurus, sehingga beralasan bagi majelis untuk menolak permohonan PKPU pemohon untuk seluruhnya," kata Aswijon.
Ditemui seusai persidangan, kuasa hukum SPE Dida Hardiansyah mengatakan, atas putusan majelis hakim tersebut membuat pihaknya tak terbebani dengan risiko menjalani PKPU kembali. Dengan begitu, SPE bisa kembali fokus untuk menjalani perjanjian perdamaian.
Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum para pemohon Hamonangan S. Hutabarat menilai putusan tersebut membuat tidak adanya kepastian hukum bagi kreditur yang timbul setelah adanya homologasi.
"Dalam UU memang tak dijelaskan bagaimana nasib kreditur seperti klien kami yang memiliki hak yang sama untuk mendapat pembayaran," ungkap dia kepada KONTAN.
Kendati begitu, pihaknya masih belum menentukan akan menempuh upaya apa lagi untuk menagih utang kepada SPE. "Langkah apa yang ditempuh akan diketahui setelah kami konsultasikan kepada klien," tambah Hamonangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News