Reporter: Herlina KD | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Sumber dana melimpah, sayang, kita tak pintar memanfaatkannya. Itulah gambaran negeri kita. Lantaran proyek-proyek berjalan lambat, Pemerintah Indonesia belum banyak memanfaatkan komitmen utang yang berasal dari luar negeri.
Kini, total utang luar negeri kita tercatat sekitar US$ 65 miliar. Dari jumlah itu, utang luar negeri yang masih aktif atau belum seluruhnya ditarik mencapai US$ 24,88 miliar. Utang ini terdiri dari 249 dokumen utang dan berasal dari sejumlah lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Meski sudah terikat komitmen, nyatanya, hingga kini, hanya penarikan utang luar negeri senilai US$ 5,98 miliar (24,04%) dari 44 dokumen pinjaman yang sesuai jadwal (on schedule).
Sedangkan, penarikan 107 pinjaman dengan total nilai US$ 14,54 miliar (58,47%) terlambat (behind schedule). Penyebab keterlambatan pencairan utang ini, umumnya, adalah karena perencanaan proyek yang tidak sesuai.
Ambil contoh, pengadaan barang yang tidak tepat waktu. "Akibatnya, ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan," kata Rahmat Waluyanto, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, akhir pekan lalu.
Selain itu, ada sekitar 32 pinjaman dengan total nilai US$ 4,35 miliar (17,49%) yang statusnya berisiko (at risk). Rahmat menjelaskan, pinjaman dalam kategori berisiko ini tidak bisa dicairkan sama sekali karena proyeknya macet alias tidak jalan.
Alhasil, pemerintah harus membatalkan pinjaman ini. "Sebagian pinjaman dalam kategori behind schedule juga berpotensi dibatalkan jika tidak ada kemajuan," katanya.
Tak tepat waktu
Catatan saja, pemerintah menetapkan tiga kategori pinjaman luar negeri, yaitu pinjaman on shcedule, behind schedule, serta pinjaman at risk. Dasar pengelompokan adalah penyerapan pinjaman atau biasa disebut progress variant (PV).
Nah, berdasarkan data kinerja penyerapan pinjaman luar negeri oleh kementerian/lembaga per 31 Maret 2012, masih banyak pinjaman yang masuk kategori behind schedule. Misalnya, di Kementerian Pertahanan, dari total 30 perjanjian pinjaman luar negeri, hanya 11 dokumen pinjaman yang on schedule. Sedangkan sisanya sebanyak 16 dokumen pinjaman berstatus behind schedule dan tiga lainnya berisiko.
Begitu pula di Kementerian Pekerjaan Umum. dari total 40 dokumen pinjaman, delapan di antaranya masuk kategori pinjaman berstatus berisiko, 24 pinjaman behind schedule, dan hanya 8 pinjaman yang on schedule.
Widjanarko, Direktur Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan menambahkan, pembatalan pinjaman bisa dilakukan jika proyek yang dibiayai utang luar negeri itu benar-benar tidak berjalan atau tidak ada kemajuan. "Ada pembatalan utang secara total dan ada pula pembatalan secara bertahap," ujarnya.
Pembatalan utang secara total dilakukan sebelum proyek berjalan. Misalnya, pemerintah pernah membatalkan pinjaman dari Denmark untuk pembangkit listrik PLN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News