Reporter: TribunNews | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) merilis hasil kajian terbaru mengenai “Dinamika Regulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia”.
Studi ini menyoroti ketidakseimbangan regulasi antara rokok konvensional, rokok ilegal, dan rokok elektrik yang memicu pergeseran konsumsi masyarakat serta mengancam keberlangsungan industri kretek nasional.
Direktur PPKE FEB UB, Prof Candra Fajri Ananda, mengatakan industri hasil tembakau di Indonesia kian tertekan oleh regulasi yang semakin ketat. Data Bea dan Cukai (2023) mencatat produksi rokok turun signifikan dari 348,1 miliar batang pada 2015 menjadi 318,15 miliar batang pada 2023.
Baca Juga: Produksi Rokok Turun 4,2% Hingga Maret 2025, Bea Cukai Beberkan Alasannya!
“Penurunan tersebut menggambarkan besarnya tekanan yang dihadapi industri kretek, padahal sektor ini memiliki peran penting tidak hanya sebagai penyokong perekonomian nasional, tetapi juga sebagai bagian dari identitas budaya bangsa,” ujar Candra, Senin (29/9/2025).
Kajian ini menemukan adanya perbedaan mencolok dalam pola konsumsi dan daya beli antar kelompok perokok.
Survei PPKE FEB UB 2025 menunjukkan mayoritas perokok ilegal (55,3%) memilih rokok dengan harga sangat murah, di bawah Rp1.000 per batang. Kelompok ini juga mencatat konsumsi berat lebih tinggi, dengan 21,3% mengisap 19 batang atau lebih per hari.
Sebaliknya, perokok ganda—yang mengonsumsi rokok legal sekaligus alternatif lain—cenderung memiliki pola konsumsi ringan, yakni 1–6 batang per hari dengan persentase 47%.
Dari sisi daya beli, perokok legal dan perokok ganda umumnya bersedia membayar Rp2.500–Rp3.499 per batang, sedangkan perokok ilegal hanya mampu membayar di bawah Rp1.500.
Baca Juga: Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Capai Rp 77,5 Triliun Hingga Akhir Maret 2025
Temuan ini mengindikasikan bahwa ketika harga rokok melampaui batas kemampuan, sebagian besar perokok ilegal (80,3%) akan beralih ke produk lebih murah. Sementara itu, perokok ganda cenderung beralih ke rokok elektrik.
“Artinya, kenaikan harga rokok tidak serta-merta membuat perokok berhenti, melainkan lebih mendorong mereka mencari alternatif yang lebih murah,” jelas Candra.
Kajian juga menunjukkan kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) hampir setiap tahun belum efektif menurunkan angka prevalensi merokok yang stagnan di kisaran 28%–29% pada periode 2024–2025. Kenaikan harga justru mendorong perokok mencari substitusi berupa rokok ilegal maupun elektrik.
Candra menegaskan, tanpa kebijakan yang lebih seimbang, risiko pergeseran konsumsi ke produk ilegal dan elektrik akan semakin besar. Hal ini dikhawatirkan tidak hanya menggerus stabilitas ekonomi nasional, tetapi juga menggagalkan tujuan kesehatan masyarakat.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Industri Rokok Kretek Tertekan, Pemerintah Diminta Bikin Kebijakan yang Seimbang, https://www.tribunnews.com/bisnis/7734947/industri-rokok-kretek-tertekan-pemerintah-diminta-bikin-kebijakan-yang-seimbang.
Selanjutnya: Rayakan HUT Ke-80, KAI Hadirkan E-Sport Center di Stasiun Gambir
Menarik Dibaca: Rayakan HUT Ke-80, KAI Hadirkan E-Sport Center di Stasiun Gambir
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News