Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang HUT ke-68 Kemerdekaan RI di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2013), penuh dengan klaim keberhasilan. Apakah memang demikian faktanya?
"Presiden SBY dalam visi misinya ketika kampanye calon presiden pada 2009 mengedepankan strategi pembangunan inklusif (pemerataan akses dan aset pembangunan). Kenyataannya, yang terjadi adalah pemusatan aset, merujuk pada data gini ratio yang semakin tinggi," kata anggota Komisi XI DPR dari FPDI Perjuangan, Arif Budimanta, Sabtu (17/8/2013). Gini ratio merupakan angka perbandingan untuk mengukur ketimpangan pendapatan masyarakat.
Presiden mengatakan, angka kemiskinan 16,66% pada 2004 telah turun menjadi 11,37% pada Maret 2013. Tingkat pengangguran terbuka pun turun dari 9,86% pada 2004 menjadi 5,92% pada Februari 2013. Namun, kata Arif, gini ratio Indonesia pada 2004 yang tercatat 0,32% pada 2004 justru meningkat menjadi 0,41% pada akhir 2012.
Berdasarkan kriteria Bank Dunia, gini ratio di bawah 0,4% menunjukkan kesenjangan yang rendah, sementara 0,4% sampai 0,5% berarti terjadi kesenjangan sedang, dan lebih dari 0,5% berarti terjadi kesenjangan tinggi.
Arif menyebutkan pula bahwa data pada 2004 menunjukkan 40 persen pendapatan nasional dikuasai 20% penduduk berpendapatan tertinggi. "Sekarang? Dari data BPS, 48,6% pendapatan nasional dinikmati 20% penduduk berpendapatan tertinggi itu," kata dia.
Masih merujuk data BPS, Arif pun mengatakan bahwa pada 2010 setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 567.000 lapangan kerja baru, maka pada 2012 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 178.000 lapangan kerja. Padahal, dalam pidato Presiden disebutkan bahwa selama pemerintahannya daya beli masyarakat terus meningkat sehingga kelas menengah tumbuh signifikan. (Palupi Annisa/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News