kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Praktisi hukum: Korporasi bisa dipidana


Kamis, 27 Juli 2017 / 08:40 WIB
Praktisi hukum: Korporasi bisa dipidana


Reporter: Teodosius Domina | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Sejumlah praktisi dan ahli hukum menilai, suatu korporasi sebagai badan hukum bisa menjadi subjek hukum pidana. Di Indonesia, persoalan ini telah dipertegas dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13/2016 tentang cara penanganan perkara tindak pidana korporasi.

Bagi pengusaha di Indonesia, aturan ini membikin was-was. Apalagi baru-baru ini tengah mencuat kasus PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada pula kasus produksi beras oleh PT Indo Beras Unggul yang masih diselidiki kepolisian.

Pakar hukum pidana, Andi Hamzah bilang, sejarah pemidanaan korporasi di Indonesia mengikuti hukum pidana negara Belanda yang membentuk undang-undang tindak pidana ekonomi pada tahun 1950. Undang-undang tersebut menyebutkan badan hukum bisa dihukum.

"Sesudah Perang Dunia 2, ternyata perusahaan menjadi penyelundup, penimbun, dan sebagainya. Kemudian keluarlah undang-undang tindak pidana ekonomi. Tahun 1951, kita juga lantas menerbitkan Undang-undang Darurat Penimbunan barang. Kemudian tahun 1955 kita persis meniru undang-undang tindak pidana ekonomi Belanda," ucap Andi Hamzah dalam acara diskusi Kongkow Bisnis PAS FM di Mercure Hotel Jakarta Kota, Rabu (26/7).

Meski begitu ia mengkritisi, sebaiknya pemerintah menjelaskan lebih lanjut tindak pidana apa saja yang bisa dianggap tindak pidana korporasi. Pasalnya tidak semua jenis tindak pidana yang dikenakan pada orang bisa dikenakan pada korporasi. Bahkan di kalangan ahli hukum, masih ada sementara ahli yang tidak setuju koroporasi dimintai pertanggung jawaban pidana

Sementara praktisi hukum bisnis Ricardo Simanjuntak bilang dalam berbagai hukum materiil berupa undang-undang, sudah dijelaskan bahwa korporasi bisa dimintai pertanggung-jawaban pidana.

Hanya saja, ia menilai, dalam pembuktian di pengadilan, penegak hukum baik itu kejaksaan, polisi maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bisa menunjukkan pada proses mana pelanggaran terjadi sehingga jelas siapa yang harus bertanggung jawab pada suatu tindak pidana. Pasalnya korporasi terdiri dari pemegang saham, direksi dan komisaris. Tiga unsur tersebut memiliki hak dan kewajiban masing-masing pada suatu korporasi sehingga tidak seluruh unsur ini layak terimbas hukuman.

"Kita lihat kan ada rapat pemegang saham yg melakukan rencana perseroan. Ada pula rencana kerja awal. Setelah itu ada laporan pertanggung jawaban. Dari sini kita harus lihat kapan perseoran melakukan tindak pidana tadi," ujar Ricardo dalam acara yang sama.

Praktisi hukum lain, Maqdir Ismail menilai, khusus dalam kasus korupsi, aturan di Indonesia belum mencukupi, terutama penindakan terhadap perusahaan multinasional. Ia pun mencontohkan kasus PT Chevron Pasific Indonesia pada 2013 yang lalu.

"Itu kebijakan perusahaan. Tapi yang dihukum malah pekerja-pekerja yang ada di sini. Bahkan dia hanya level pengawas," ujar Makdir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×