kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PPN pangan, dan jasa pendidikan jadi polemik, pemerintah tegaskan aturannya belum ada


Minggu, 13 Juni 2021 / 17:56 WIB
PPN pangan, dan jasa pendidikan jadi polemik, pemerintah tegaskan aturannya belum ada
ILUSTRASI. Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif CITA.foto dok.pribadi


Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akhirnya memberikan klarifikasi mengenai rencana kebijakan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan memungut sejumlah barang dan jasa di dalam negeri.

Pemerintah menegaskan rencana kebijakan yang tertuang di Rancangan Undang Undang (RUU) tentang  perubahan Undang-Undang (UU)  Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak akan diterapkan dalam waktu dekat, sehingga saat ini belum ada aturanya.

"Tidak benar kalau ada pengenaan pajak untuk sembako dan jasa pendidikan, dalam waktu dekat atau bulan depan. Saat ini RUU masih di DPR bahkan belum diparipurnakan apalagi dibahas. Pemerintah masih menerima semua aspirasi," terang Yustinus Prastowo staf khusus Menteri Keuangan saat berdiskusi daring bertema Arah Kebijakan Perpajakan di Kala Pandemi yang digelar oleh Narasi Institute, akhir pekan lalu.

Yustinus menegasknan, tidak khusus mengomentasi RUU yang beredar. Ia hanya menjelaskan yang sekarang yang dibangun dan direncanakan menggunakan logika bahwa saat pandemi Covid-19, pemerintah telah memberikan semua kepada pelaku usaha dan masyarakat.
 
"Tidak ada kebijakan pajak agresif (selama ini). Karena itu kini jadi kesempatan baik untuk memikirkan kalau pandemi Covid-19 berakhir apa yang akan diberlakukan?," katanya.

Ia menegaskan rancangan kebijakan PPN saat ini bukan kebijakan yang tiba-tiba, tapi melalui sebuah kajian sejak beberapa tahun yang lalu tapi eksekusinya selalu tertunda, karena membutuhkan proses yakni pembahasan di parleman untuk menetapkan Undang- Undang.

"Saat ada ruang untuk membahasnya di RUU KUP karena itu pemerintah menyampaikan beberapa ide," katanya.

Sekarang ini pada aturan PPN yang berlaku, banyak pengecualiannya sehingga banyak jenis barang dan jasa yang tidak bisa dikenakan PPN.

Lalu Yustinus memberikan ilustrasi harga telur ayam mengandung omega 3 yang dijual di pasar modern dengan harga mahal dibandingkan dengan telur ayam kampung, saat ini sama-sama tidak kena PPN.

Kemudian beras premium yang diimpor dari luar negeri, dibandingkan dengan harga beras dari bulog yang sama sama tidak kena PPN.

Tidak hanya itu, harga barang berupa daging segar jenis wagyu yang ada di supermarket kelas atas dibandingkan dengan dan daging yang di jual di pasar tradisional ataupun daging ayam sama-sama tidak terkena PPN. 

"Padahal dari sisi daya beli konsumen sangat berbeda. Jenis, harga dan daya beli beda, tapi ada di keranjang (tarif PPN) yang sama," katanya.

Ilustrasi yang sama diberikan kepada layanan Jasa kesehatan. Seorang seorang artis melakukan operasi plastik dan orang miskin operasi kutil saat ini sama sama tidak kena PPN atas jasa layanan kesehatannya

Demikian juga dengan orang yang belajar di sekolah nirlaba dan bersubsidi dengan sekolah mewah yang hanya diakses oleh orang-orang kaya, juga sama-sama tidak terkena PPN.

Bagi Pemerintah menurut Yustinus, kondisi ini tidak fair, sehingga pemerintah kehilangan kesempatan memungut pajak orang kaya agar bisa di redistribusi ke kelompok warga yang tergolong miskin.

Yustinus menyebut saat ini kinerja perpajakan untuk memungut PPN Indonesia masih di bawah negara-negara Asia, karena banyak pengecualian yang terlalu banyak.

Pada kesempatan itu Yustinus juga membantah bahwa saat ini menjadi era zalim pemerintah karena getol memajaki rakyat dan mengejar atau menekan pelaku usaha.

Sebab fakta empirisnya adalah dalam enam tahun terakhir sejak Oktober 2015, saat Menteri Keuangan di jabat Bambang Brodjonegoro telah melakukan beberapa kebijakan insentif perpajakan.

Pertama kebijakan revaluasi aset dengan menurunkan tarif pajaknya dari 10% menjadi 3%.

Kedua kebijakan reinventing penghapusan sanksi pajak bagi wajib pajak yang sukarela membetulkan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) atau menyampaikan apa yang belum dilaporkan di SPT

Ketiga kebijakan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari semula Rp 2 juta menjadi Rp 3 juta dan dinaikan lagi pada 2016 sehingga sekarang sekitar Rp 4,5 juta 

Keempat, program pengampunan pajak atau tax amnesty 2016 menawarkan tarif uang tebusan 2% dari harta yang dilaporkan Hal ini menjadi insentif bagi semua WP

"Apakah tax amnesty mengampuni pengemplang pajak? faktanya peserta tax amnesty terbanyak UMKM," kata Yustinus.

Kelima pada tahun 2017 pemerintah mengikuti program pertukaran data perpajakan AEoI untuk meningkatkan data perpajakan. 

Keenam pemerintah menurunkan pajak penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah bangunan yang semula dikenakan tarif  5% turun menjadi hanya 2,5%

Ketujuh pemerintah menurunkan PPh bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) pada tahun 2018 dari tarif semula 1% menjadi 0,5%

Kedelapan percepatan restitusi pajak diberikan kepada wajib pajak, tanpa harus dilakukan pemeriksaan.

Kesembilan kebijakan pajak super deductable tax untuk pelaku usaha yang mengalokasikan belanja pendidikan dan vokasi yang bisa diberikan sampai 300%

"Jadi kurang tepat kalau disebut pemerintah menzalimi rakyat dan pengusaha, malah pemerintah terlalu baik hati dan kadang kebijakan insentif tidak tepat sasaran sehingga perlu di evaluasi," kata Yustinus.

Kebijakan insentif perpajakan ini juga terus berlanjut pada saat pandemi virus corona covid-19. Pemerintah mengikuti arahan OECD agar melakukan refocusing anggaran agar bisa mendanai belanja untuk pandemi. 

Rekomendasi lain adalah perbaikan cash flow bagi wajib pajak baik badan usaha maupun wajib pajak orang pribadi.

Karena itulah respon pemerintah di bidang perpajakan saat pandemi Covid-19 mayoritas berupa insentif yakni dari penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 sampai PMK 143 semua memberikan insentif  terutama atas penyerahan barang dan jasa untuk penanganan Covid-19, dan pajak ditanggung pemerintah (DTP) dan sebagian dibebaskan pajaknya.

Selain itu bagi karyawan yang memiliki penghasilan tak lebih dari Rp 16 juta sebulan pajak penghasilannya (PPh pasal 21) ditanggung oleh pemerintah.

Pelaku UKM PPh juga ditanggung pemerintah, sedangkan angsuran pajak bagi perusahaan di turunkan dari 100% menjadi 50%. Pengembalian restitusi pajak juga dipercepat tanpa diperiksa," katanya.

Terakhir diskon Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil. "Kebijakan ini aspirasi dari pelaku usaha sektor otomotif, yang memiliki efek multiplaier yang tinggi, sehingga insentif ini membuat industri ini menggeliat," terang Yustinus.

Diskon pajak PPnBM ini juga dibatasi hanya untuk 1500 cc yang pembelinya kelas menengah, ada kenaikan penjualan 207% yoy. "Ini cukup efektif karena sektor ini bisa menggerakkan suplai chain yang cukup besar,"katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×