Reporter: Agus Triyono | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta pemerintah untuk segera menerapkan aturan pembatasan transaksi tunai. Upaya ini dilakukan untuk membatasi ruang gerak praktik kejahatan yang melibatkan transaksi keuangan, termasuk penyuapan dan pemerasan.
Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan, untuk menerapkan pembatasan transaksi tunai, pemerintah perlu menerbitkan Undang-Undang (UU) tentang Pembatasan Transaksi Tunai. Menurutnya, kini rancangan beleid itu telah rampung disusun dan diserahkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diharmonisasi.
Menurut Yusuf, dalam rancangan beleid itu disebutkan, transaksi tunai akan dibatasi maksimal Rp 100 juta. "Kami minta RUU ini segera dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2017," ungkapnya, usai bertemu Presiden Joko Widodo, Senin (25/7).
Menurut Yusuf, pembatasan transaksi tunai perlu dilakukan untuk membatasi ruang gerak terjadinya berbagai praktek kejahatan seperti gratifikasi, penyuapan dan pemerasan. Selain itu, pembatasan transaksi tunai juga akan memudahkan PPATK untuk melacak harta yang didapat dengan cara tidak sah. "Dengan pembatasan, pencetakan uang tidak perlu banyak, tidak perlu impor bahan baku, tidak perlu gudang besar," katanya.
Pakar pencucian uang dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih mengungkapkan, pengaturan tentang pembatasan transaksi tunai memang penting dilakukan. Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah juga memprioritaskan penyusunan tentang UU Perampasan Aset. " Itu satu paket," katanya.
Catatan saja, sebelumnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 43 tahun 2015 tentangĀ Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lewat beleid ini, pemerintah memperluas kewajiban lapor ke Pusat Pelaporan dan Analisis transaksi Keuangan (PPATK) atas transaksi keuangan yang mencurigakan ke empat kelompok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News