Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2022.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, regulasi Indonesia saat ini memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset (asset recovery) yang merupakan hasil tindak pidana (proceed of crimes).
Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi, bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal. Khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk diantaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.
“Permasalahan tersebut di atas dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. RUU ini telah diinisiasi penyusunannya oleh PPATK sejak Tahun 2008 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture dari negara-negara common law,” kata Dian dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Senin (15/2).
Baca Juga: PPATK terima 61.841 laporan transaksi keuangan mencurigakan sepanjang 2020
Dian menyebut, RUU Perampasan Aset memuat 3 (tiga) substansi utama, yaitu unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara (Pasal 5 ayat (1) huruf b), hukum acara perampasan aset (Pasal 7 s.d Pasal 46), dan pengelolaan aset (Pasal 47 s.d Pasal 57).
Unexplained wealth merupakan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana.
Selanjutnya, hukum acara perampasan aset diatur khusus dikarenakan hukum acara perampasan di dalam RUU menekankan pada konsep negara versus aset (in rem). Hal ini berbeda dengan hukum acara pidana yang menekankan konsep negara versus pelaku kejahatan (in personam).
Dian mengatakan, konsep in rem juga mengatur mengenai pelindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik dan memiliki keterkaitan dengan aset yang diajukan permohonan perampasan aset. Selain itu, RUU Perampasan Aset juga mengatur mengenai pengelolaan aset yang terdiri dari 9 (sembilan) jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian aset.
“PPATK berpandangan, apabila RUU Perampasan Aset dapat segera ditetapkan akan dapat membantu pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya, dan akan memberi efek jera kepada pelaku dan deterrent effect bagi calon pelaku kejahatan ekonomi,” ujar Dian.
Baca Juga: Ada aturan baru untuk mencegah pencucian uang, ini kata pemain fintech
Dian mengatakan, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sejalan dengan salah satu Agenda Presiden Tahun 2020-2024, yaitu Memperkuat Stabilitas Politik, Hukum dan Keamanan, dan Transformasi Pelayanan Publik. Ia menyebut, Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PA) telah mulai disusun pada tahun 2008 dan telah selesai pembahasan antar kementerian pada November 2010, serta harmonisasi pada November 2010.
Adapun K/L yang terlibat dalam penyusunan adalah Kemenkumham, PPATK, Kemenpan dan RB, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, Akademisi FH UI, POLRI, KPK, Kejaksaan Agung, dan Tenaga Ahli. RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011.
“Sehubungan dengan tidak adanya lagi pending issue, PPATK meminta kesediaan Kemenkumham sebagai wakil Pemerintah untuk mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU Prioritas Tahun 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022. Hal ini sejalan dengan Kerangka Regulasi RPJMN Tahun 2021 yang dibahas dan disepakati di Bappenas,” tutur Dian.
Selanjutnya: Cegah pencucian uang, OJK rilis aturan baru bagi fintech
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News