Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Belanja pemerintah dinilai makin kurang produktif. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat, porsi belanja utang semakin besar setiap tahunnya, yang artinya belanja pemerintah semakin kurang produktif lantaran hanya dihabiskan untuk belanja pembayaran bunga utang saja.
"Salah satu yang bisa dicermati dari kemampuan bayar utang pemerintah itu adalah porsi total belanja utang 2023 itu dibagi dengan total belanja pemerintah sudah 20%, padahal 5 tahun yang lalu masih 17%," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (20/11).
Untuk diketahui pembayaran bunga utang terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2018, pembayaran bunga utang sebesar Rp 258 triliun, kemudian naik Rp 275,5 triliun di tahun 2019.
Sementara pada tahun 2019 dan 2020 masing-masing sebesar Rp 314,1 triliun dan 343,5 triliun, serta outlook tahun ini sebesar Rp 403,9 triliun.
Kemudian pada tahun depan, pembayaran bunga utang menembus Rp 441, 4 triliun. Rinciannya, Rp 426,8 triliun untuk bunga utang dalam negeri dan Rp 14,6 triliun untuk pembayaran bunga utang luar negeri.
Padahal menurut Bhima, anggaran untuk di tahun depan akan sangat besar terutama dalam menghadapi situasi ancaman resesi global, seperti untuk kebutuhan anggaran birokrasi, anggaran belanja modal untuk pembangunan infrastruktur, belanja pendidikan, dan juga belanja perlindungan sosial.
Baca Juga: Rasio Pajak Tak Ideal, Ekonom: Beban Utang Akan Semakin Berat
"Kalau 20 persennya dihabiskan untuk cuma bayar bunga utang, nah ini tentu semakin tidak sehat," katanya.
Di sisi lain, Bhima menyampaikan dengan tren kenaikan suku bunga dan inflasi yang semakin naik, maka dirinya memperkirakan bunga akan semakin mahal sehingga berdampak kepada baban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah.
"Kalau dibandingkan dengan pendapatan negara, kan bayarnya bunga utang itu dari pendapatan pajak dan non pajak. Jadi memang rasio pajaknya itu sudah dibantu dengan tax amnesty, dan sekarang ini dibantu lebih banyak karena komoditas yang sifatnya temporer," katanya.
Menurutnya, ada permasalahan serius yang menyangkut soal rasio pajak Indonesia. Untuk itu, dirinya meminta pemerintah untuk mendorong basis perpajakan yang lebih bagus dan sistem perpajakan yang lebih transparan.
Selain itu, untuk mengurangi ketimpangan kekayaan, menurutnya salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mengenakan pajak atas kekayaan (wealth tax) apabila ingin meningkatkan rasio pajak.
Kemudian, bisa juga mendorong adanya windfall tax atau pajak yang dibebankan kepada sektor komoditas yang harganya sedang meroket.
"Nah itu salah satu cara bagaimana kita bisa mendorong dari sisi rasio pajak dan di sisi yang paralel belanja pemerintah harus diarahkan untuk sektor yang produktif," ungkap Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News