Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Manufaktur di Tanah Air masih mampu mengepul, tapi laju ekspansinya melemah di akhir kuartal I lalu. Nikkei dan IHS Markit mensurvei, Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia ada di level 50,7 pada Maret lalu.
Hal ini terjadi di saat tanda-tanda daya beli konsumen sudah membaik. Terlihat dari inflasi inti tahunan yang mengalami kenaikan di Maret 2018 menjadi sebesar 2,67% dibandingkan Februari yang sebesar 2,58%.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan, di balik PMI yang rendah, pengusaha melihat adanya ketidakpastian.
Isu perang dagang AS-China yang bergulir sejak Februari lalu dinilai meningkatkan ketidakpastian ekonomi global dan membuat permintaan dunia berkurang.
“Sehingga produksi pun berkurang. Makanya data ekspor impor terakhir menunjukkan penurunan,” ujar Shinta kepada Kontan.co.id, Selasa (3/4).
Selain itu, Shinta melihat, turunnya PMI ini tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga negara-negara lainnya, seperti Eropa, China, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Vietnam. “Jadi, turunnya PMI merupakan fenomena global,” ucapnya.
Senada, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat Usman mengatakan bahwa isu perang dagang AS-China yang bergulir sejak Februari lalu dinilai meningkatkan ketidakpastian dalam perdagangan.
“Walaupun menjelang lebaran, mengalami penurunan yang signifikan. Pasar tidak mampu menyerap karena banyak ketidakpastian yang menghantui retailer,” ujarnya kepada Kontan.co.id.
Ketidakpastian itu salah satunya adalah tidak diperkenankannya penggunaan e-faktur tanpa NPWP dan NIK yang sempat direncanakan oleh pemerintah untuk berlaku pada April 2018 ini namun dibatalkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News