Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Indra menyayangkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membicarakan urusan Partai dengan Yenny Wahid mengunakan fasilitas istana negara.
Menurutnya, sungguh tidak etis apabila urusan partai mengunakan fasiltas negara.
"Istana Negara selayaknya dipergunakan untuk mengurusi persoalan kenegaraan dan rakyat Indonesia, bukan malah dipergunakan untuk kepentingan partai politik tertentu," tegas anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, kepada Tribunnews.com, Jakarta, Kamis (18/4).
Indra lebih jauh menilai hal ini terjadi karena SBY sebagai Presiden juga memegang jabatan Ketua Umum Partai. Dan hal itu selama ini sudah diragukan banyak pihak bahwa SBY akan sulit menempatkan diri secara profesional-mengurusi Partai atau negara dan rakyat.
"Inilah jadinya apabila seorang presiden merangkap sebagai pengurus partai politik. Apalagi SBY, Ketua Umum Partai Demokrat. Keraguan kita semua bahwa apakah SBY mampu menempatkan diri secara benar dan profesional atau tidak mencapuradukan, antara kapasitasnya sebagai presiden dengan posisinya yang saat bersamaan sebagai ketua umum PD semakin nampak jawabanya," ujarnya.
Dia tegaskan lagi, konferensi pers SBY terkait dengan urusan partai yang mengunakan fasilitas istana negara ini merupakan jawaban kongkrit atas pertanyaan dan keraguan yang selama ini disampaikan.
Karena memang SBY akan sangat sulit memisahkan antara posisinya sebagai kepala negara dan posisinya sebagai pengurus dan ketua umum PD.
Selain itu, imbuhnya, konflik kepentingan dan pencampuradukan antara posisi presiden dengan posisi sebagai pengurus partai, bukanlan soal hari libur atau hari kerja, tapi ini masalah totalitas dan tanggungjawab.
Lagi-lagi menurut Indra, seorang presiden bukanlah milik sebuah partai atau kelompok. Tapi presiden merupakan milik seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya seorang presiden tidak boleh rangkap jabatan.
"Seorang presiden harus fokus mengurus negara. Ketika presiden rangkap jabatan, maka saya sangat yakin dia tidak akan fokus mengurus negara dan rakyat Indonesia dengan segala permasalahan yang begitu komplek," tandasnya.
Karenanya, kata dia, berdasarkan hal-hal itu memang harus merivisi UU Pilpres--salah satu hal yang penting mesti diatur diantaranya adalah persoalan larangan rangkap jabatan seorang presiden. (Srihandriatmo Malau/Tribunnews.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News