kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Perundingan Indonesia-Malaysia belum ada titik temu


Selasa, 09 November 2010 / 21:25 WIB
Perundingan Indonesia-Malaysia belum ada titik temu
ILUSTRASI. Pelayaran Tempuran Emas Tbk (TMAS) atau Temas Line


Reporter: Astri Kharina Bangun | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Pencabutan moratorium penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia belum menunjukkan tanda-tanda bakal segera diakhiri. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang B Razak mengungkapkan, hal ini karena pembahasan amendemen Nota Kesepahaman (MoU) tentang penempatan tenaga kerja informal antara Indonesia-Malaysia belum juga tuntas.

Seperti yang pernah diberitakan, beberapa klausul MoU yang diusulkan pihak Indonesia adalah mengenai satu hari libur dalam seminggu, paspor dipegang pekerja, dan standar gaji minimum. Soal standar gaji memang masih terdapat ganjalan.

Malaysia menolak usulan ketentuan mengenai gaji minimum bagi para TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga sebesar RM 800 atau Rp 2,27 juta per bulan. Menteri Tenaga Kerja Malaysia Datuk S. Subramaniam sempat mengungkapkan negaranya tak mengenal konsep gaji minimum tersebut.

"Proses negosiasi masih berjalan. Ada beberapa hal yang perlu dituntaskan, selain gaji juga ada persoalan struktur biaya," ujar Tatang, Senin, (9/11) usai Rapat Koordinasi Harmonisasi Kebijakan di Bidang Penempatan dan Perlindungan TKI.

Tatang menuturkan biaya struktur menjadi perhatian pihak Malaysia selaku user lantaran selama ini biaya yang dikenakan kepada majikan sering kali lebih tinggi dari ketentuan. "Masih ada biaya-biaya tambahan di luar yang seharusnya. Malaysia kan melindungi pihak user karena menurut mereka, user sering dirugikan karena harus membayar sangat tinggi. Padahal tidak ada jaminan kualitas pekerja, bahkan ada risiko pekerjanya melarikan diri."

Sayangnya, Tatang belum bisa memastikan kapan amendemen ini bakal kelar. Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar sempat menjanjikan nota kesepahaman yang baru dengan negeri jiran itu akan ditandatangani Mei 2010 lalu, sehingga moratorium bisa dicabut saat itu. Namun, pertemuan yang dirancang di sela-sela kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Malaysia gagal membuahkan kesepakatan. Hingga November ini tetap belum ada kejelasan soal tenggat waktu penyelesaian amendemen MoU.

Tatang menuturkan, pemerintah akan berupaya agar penyelesaian amendemen MoU bisa segera dilakukan. "Tentu kedua belah pihak punya kepentingan dalam penandatanganan amendemen ini. Indonesia jelas ingin melindungi TKI sementara Malaysia sendiri butuh tenaga kerja. Moratorium ini dampaknya sudah terasa sejak satu setengah tahun diberlakukan. Misalnya, empat tahun lalu ada sekitar 400.000 PRT di Malaysia, sekarang tinggal 217.000. Pihak Malaysia sekarang menyadari betapa sulitnya mendapat tenaga kerja Indonesia. Malaysia masih sangat tergantung Indonesia."

Akan tetapi, kenyataannya suplai tenaga kerja yang kurang itu masih bisa ditutupi dari jalur-jalur ilegal. Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Anis Hidayah menuturkan selama moratorium diterapkan setidaknya terdapat 10.000 buruh migran ilegal Indonesia di Malaysia. "Itu perkiraan KBRI, tapi saya yakin angka itu bisa lebih besar dan semakin menjurus ke trafficking."

Anis mendesak pemerintah Indonesia segera memberi tenggat waktu kepada Malaysia. "Kalau sampai akhir Desember tidak ada kemajuan, berarti kita harus meningkatkan status dari moratorium menjadi tidak usah sekalian menempatkan tenaga kerja ke Malaysia. Indonesia harus konsisten pada persoalan penegakan HAM. Kalau negara tujuan buruh migran kita mengabaikan itu, maka pemerintah Indonesia harus berani mengambil sikap."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×