kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pertamina: Saran BPH Migas seperti 'efek balon'


Kamis, 18 September 2014 / 15:53 WIB
Pertamina: Saran BPH Migas seperti 'efek balon'
ILUSTRASI. Otorita IKN, Kementerian PUPR mengajak asosiasi pengusaha Jepang ke lokasi pembangunan IKN.


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Vice President Distribution Fuel and Marketing PT Pertamina (Persero) Suhartoko mengatakan, hasil evaluasi Pertamina menunjukkan belum ada penghematan yang signifikan dari upaya pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebagaimana yang diserukan BPH Migas.

"Pengendalian hanya memindahkan tempat pembelian konsumen ke wilayah yang tidak diberlakukan pengendalian, atau hanya efek balon," kata Suhartoko dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Kamis (18/9).

Misalnya, pelarangan Premium dijual di SPBU di rest area. Suhartoko menjelaskan, penjualan di SPBU tol memang turun sekira 779 kiloliter per hari. Namun, SPBU lain di sebelum dan sesudah tol tersebut, tercatat mengalami peningkatan, hingga menjadi 956 kiloliter per hari.

Akibat pengendalian ini, konsumsi Premium secara nasional juga mengalami peningkatan. Pada periode 1-18 Agustus 2014, konsumsi Premium naik 4,5% dari rata-rata harian normal, yakni dari 81.571 kiloliter per hari menjadi 85.255 kiloliter per hari.

"Faktanya, pengendalian Premium hanya berlaku (efektif mengurangi konsumsi) 2-3 hari. Selebihnya normal. Dia (konsumen) mengisi Premium di SPBU sebelum dan sesudah jalan tol. Sehingga untuk Premium, pengendalian praktis tidak berdampak. Itu hanya memberikan pembelajaran masyarakat. Namun, efektivitasnya enggak muncul," kata Suhartoko.

Suhartoko menyampaikan, pengendalian BBM bersubsidi yang sesaat itu memang untuk memberitahu masyarakat bahwa sudah saatnya BBM bersubsidi dihapuskan. Dengan demikian, negara memiliki lebih banyak anggaran untuk membangun.

"Bisa dibayangkan 2014 masih terlalu besar angkanya. 2014 BBM dan elpiji itu Rp 292 triliun, yang mestinya ini habis dibakar. Dan yang membakar bukan orang lemah, orang yang punya mobil banyak. Semakin banyak punya mobil, semakin banyak dia mendapatkan subsidi BBM. Inilah yang saya rasa tidak tepat," tukas Suhartoko. (Estu Suryowati)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×