kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perluasan Pemungut PPN PMSE Diyakini Dongkrak Penerimaan Pajak Konsumsi Tahun Depan


Senin, 12 Desember 2022 / 17:48 WIB
Perluasan Pemungut PPN PMSE Diyakini Dongkrak Penerimaan Pajak Konsumsi Tahun Depan
ILUSTRASI. Perluasan Pemungut PPN PMSE Diyakini Bisa Dongkrak Penerimaan Pajak Konsumsi Tahun Depan. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/foc.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan Terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

PP nomor 44/2022 ini merupakan aturan pelaksanaan PPN dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam Pasal 5 PP  tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memiliki kewenangan untuk menunjuk pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan PPN.

Pihak lain yang dimaksud merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi, termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik paling sedikit berupa pedagang, penyedia jasa, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronoik (PMSE).

Baca Juga: Transaksi Digital Ngebut, Pemerintah Tunjuk PMSE Domestik Jadi Pemungut PPN

Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak Bonarsius Sipayung mengatakan, PP tersebut berisi perluasan subjek pajak sebagai pemungut pajak, dalam hal ini adalah PMSE domestik.

Bonar bilang, kebijakan penunjukan PMSE sebagai pemungut pajak tersebut dalam rangka penyesuaian kebijakan perpajakan seiring dengan kemajuan transaksi digital. Dengan ditunjuknya PMSE domestik sebagai pemungut PPN, maka diharapkan pemajakan akan transaksi digital dapat dilakukan dengan lebih efektif.

"Dengan menambah PMSE jadi pemungut pajak berarti subjek pajak bertambah, yang sebelumnya hal tersebut belum diatur," ujar Bonar kepada Kontan.co.id, Senin (12/12).

Tim Riset MUC Tax Research Institute menyampaikan, ketentuan yang diatur di dalam Pasal 5 PP tersebut akan memperluas cakupan pemungutan PPN PMSE yang selama ini diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 yang telah diubah dengan PMK Nomor 60/PMK.03/2022.

Sebab, di dalam PP 44/2022 pemerintah menetapkan dua kategori pihak yang bisa ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE yang akan ditunjuk.

Pertama, perusahaan luar negeri yang melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik dan menjualnya ke konsumen di Indonesia. Hal ini sudah dilakukan dengan menunjuk banyak perusahaan digital asing sebagai pemungut PPN. Kedua, penyedia layanan digital, fasilitator para pihak yang bertransaksi seperti marketplace.

Berbeda dengan PMK Nomor 48/2020 yang hanya mengatur tentang penunjukan pelaku usaha digital luar negeri yang melakukan perdagangan barang/jasa kepada pelanggannya di Indonesia saja. Untuk itu, Tim Riset MUC Tax Research Institute melihat, perluasan cakupan ini jelas akan menambah basis pemungutan PPN tahun depan.

Hal ini lantaran, tidak hanya perusahaan digital luar negeri saja, tetapi platform e-commerce juga bisa ditunjuk sebagai pemungut PPN atas transaksi digital antara pedagang dengan penjual.

Baca Juga: Setoran PPN PMSE Telah Mencapai Rp 9,66 Triliun Hingga November 2022

"Dengan meningkatnya transaksi digital di dalam negeri, perluasan basis ini tentu bisa mendongkrak penerimaan PPN tahun depan," ujar Tim Riset MUC Tax Research Institute kepada Kontan.co.id, Minggu (11/12).

Tim Riset MUC Tax Research Institute menghitung, ada potensi PPN yang bisa dioptimalkan Ditjen Pajak sebesar Rp 57,42 triliun. Hal ini merujuk pada angka proyeksi transaksi e-commerce yang diprediksi menyentuh angka Rp 522 triliun.

Selain itu, perhitungan tersebut juga dengan asumsi seluruh merchant yang berdagang di marketplace merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), barang dan jasa yang diperdagangkannya merupakan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), serta tarif yang dikenakannya sama 11%.

"Masalahnya, tidak semua penjual di Marketplace merupakan PKP, barang yang diperjual-belikan tidak semuanya BKP/JKP dan tarif yang dikenakan juga tidak seluruhnya 11%, maka potensinya bisa lebih rendah lagi," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×