Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang 2018, perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melonjak dibanding tahun sebelumnya.
Dari penelusuran Kontan.co.id pada lima pengadilan niaga di Indonesia, ada 411 perkara, dengan 297 perkara PKPU, dan 194 perkara pailit pada 2018. Sementara pada 2017 tercatat ada 353 perkara di mana 238 merupakan perkara PKPU, dan 115 perkara pailit.
Pakar kepailitan Ricardo Simanjuntak bilang hal tersebut menandakan dua hal. Pertama memang terjadi gangguan terhadap situasi ekonomi nasional. Kedua, di lain sisi pelaku usaha mulai penggunaan UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU sebagai solusi keluar dari financial distress.
"Jika melihat pasal 229 ayat (4) UU 37/2004, terhadap permohonan kepailitan, kemudian ada permohonan PKPU kepada debitur yang sama, proses PKPU mesti didahulukan," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (26/12).
Lebih lanjut, konsekuensi tersebut dinilai Ricardo tak selamanya baik. Sebab beberapa perkara PKPU dinilai Ricardo, justru tak selaras dengan semangat membenahi keuangan perusahaan.
Ini terkait soal penyelesaian perkara PKPU yang dinilai Ricardo kerap terjadi tirani mayoritas dalam voting proposal. Misalnya banyak kreditur yang merupakan afiliasi debitur sehingga proposal perdamaian akhirnya disahkan, padahal proposalnya tak jelas.
"Makanya menurut saya perlu ada standar soal bagaimana penyusunan proposal perdamaian. Karena niatnya bukan sekadar lolos PKPU, tapi bagaimana perusahaan bisa kembali lagi sehat, dan menunaikan utang-utangnya," jelasnya.
Standar tersebut disebutkan Ricardo misalnya mesti memasukkan proyeksi keuangan saat restrukturisasi, sehingga setidaknya memberi kepastian kepada kreditur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News