Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi langsung atau foregn direct investement (FDI) menjadi salah satu persoalan ekonomi dalam negeri, Pasalnya dalam kondisi ekonomi global yang melemah, sejumlah perusahaan China merelokasi investasinya ke beberapa negara Asia Tenggara, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia.
Namun, tak sedikitpun Indonesia mendapatkan jatah relokasi tersebut.
Baca Juga: Analis: Subsektor semen bisa tumbuh jika permintaan dari sektor properti bangkit
Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, persoalan investasi di Indonesia bukanlah masalah insentif pajak yang kurang ataupun tarif pajak yang tinggi. Faisal memberi contoh secara tarif perpajakan Vietnam tidak lebih rendah daripada Indonesia.
Dia menilai perizinan yang berbelit menjadi kunci utama permasalahan investasi langsung di dalam negeri. Mekanisme perizinan dalam negeri yang berbelit, membuat investor asing berpikir ulang. Terutama perizinan pemerintah pusat dan daerah yang sering tidak sejalan.
“Tidak ada hubungan yang signifikan antara menurunkan tarif pajak dengan investasi. FDI kita sebetulnya masih bagus, tidak jelek FDI kita berada di urutan 16 terbesar di dunia kan itu tidak jelek, sementara Vietnam nomor 18,” kaat Faisal beberapa hari lalu.
Sementara itu, Faisal mengatakan pemerintah di periode mendatang perlu memperkuat dunia usaha yang terlebih dahulu ada di Indonesia. Menurutnya, inilah yang membuat investor asing akan berpikir ulang untuk menaruh investasi di Indonesia.
Sementara itu, dari sisi perizinan pemerintah saat ini menggunakan Online Sigle Submission (OSS). Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong bilang saat peluncuran OSS cukup berantakan, bahkan sampai dengan saat ini masih banyak kesulitan.
Menurutnya OSS adalah salah satu upaya pemerintah yang paling ambisius, tetapi memiliki potensi yang berdampak luas. “Harus kami aku peluncurannya cukup berantakan dan sekarang pun masih banyak kesulitan, ini tantangan dari OSS,” kata Thomas Lembong Kamis lalu.
Adapun, Data BKPM menunjukan kinerja OSS sejak 9 Juli 2018 sampai 12 Agustus 2019, tercatat izin yang ada di dalam OSS mencakup penerbitan Nomor Induk Bisnis (NIB) sebanyak 540.000, izin usaha mencapai lebih dari 495.000, dan izin operasional atau komersial lebih dari 395.000.
Baca Juga: Seloroh PM Singapura ketika bertemu Jokowi di Istana Merdeka
Direktur Eksekutif Center of Indinesiata Taxation Analysis (Core) Yustinus Prastowo menambahkan, pemerintah perlu mengevaluasi dari sisi perpajakan dan perizinan di Indonesia dan membandingkan apa yang disediakan negara lain dan tidak ada di Indonesia.
Prastowo memberikan contoh masalah tenaga kerja. Biaya tenaga kerja merupakan salah satu cashflow perusahaan terbesar, permasalahan yang ada di dalam negeri mengenal istilah pesangon.
Sementara, dalam, dunia usaha di Vietnam dan Thailand tidak ada bayaran dan tunjangan yang diterima karyawan ketika mereka meninggalkan pekerjaan.
Baca Juga: Sunindo Adipersada jalin kerja sama dengan produsen boneka Sesame Street
Selanjutnya, masalah kepastian hukum. Prastowo menilai sistem kontinental hukum di Indonesia sepertinya menghambat investasi. Dalam praktik di lapangan, proses peradilan hukum di Indonesia cenderung lebih lama daripada negara lain, terutama masalah peradilan sengketa apalagi jarang menggunakan yurisprudensi di persidangan.
“Ini menjadi momok bagi investor, karena investor besar menilai peradilan di Indonesia lama, ini permasalahan yang kompleks. Padahal dari sisi return investasi masih bagus,” kata Prastowo.
Baca Juga: Kesepakatan Brexit Kini Berada di Tangan Parlemen
Secara keseluruhan Prastowo menilai pemerintah harus melakukan perbaikan sinkronisasi dari sisi model ekonomi politik dengan otonomi fiskal. Sehingga aturan di pusat dan daerah selaras.
Selain itu, pemerintah perlu mepercepat Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) untuk memperbaiki iklim investasi dalam negeri. Kemudian roadmap ekonomi pemerintah selanjutnya harus lebih jelas, terukur dan konkret sehingga insentif pajak dan perizinan bisa menyesuaikan.
Senada, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan perizinan dan perpajakan harus lebih disesuaikan oleh pemerintah guna mendukung invetasi asing ke dalam negeri.
Harapannya pemerintah perlu mempercepat Omnibus Law sehingga ada kejelasan perbaikan perizinan dan perpajakan apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Baca Juga: Pasar digital payment Indonesia disasar asing, LinkAja tak merasa tersaingi
Dari sisi dunia usaha saat ini, kedua hal tesebut diharapkan dapat menggenjot ekpansi dan ekstensifikasi dunia usaha di massa depan. “Pemirintah seyogianya lebih gencar melakukan pendekatan ke pengusaha untuk mengetahui langsung suara dari pelaku,” kata Suryadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News