Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - BALI. Uni Eropa akan memberlakukan peraturan antideforestasi Uni Eropa (EUDR). Tujuannya untuk mencegah komoditas yang terkait dengan deforestasi untuk dapat memasuki pasar Uni Eropa.
Hanya saja, Parlemen Uni Eropa (EU) tidak bisa menjelaskan sistem pengukuran risiko (risk benchmarking) sebagaimana disyaratkan dalam EUDR. Tidak hanya mendiskriminasi industri kelapa sawit, namun secara umum aturan antideforestasi mirip Uni Eropa tersebut berpotensi diberlakukan negara lain.
Duta Besar Indonesia untuk UE, Andri Hadi mengatakan pemberlakuan benchamarking ini akan berpotensi bermasalah. Pasalnya, di satu negara saja tidak bisa diberlakukan benchmarking yang sama. Artinya, sama dengan negara-negara lain, Indonesia juga mempunyai wilayah yang berbeda.
"Tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan misalnya pada suatu kebun kopi di Sumatra dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur,” katanya Konferensi Kelapa Sawit Indonesia ke-20 dan Outlook Harga 2025 (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2024).
Baca Juga: Menilik Wacana Penerapan B40 di Tengah Stagnasi Produksi Sawit Nasional
Menurut Hadi, sebagai akibat benchamarking suatu negara dikategorikan sebagai high risk dalam hal deforestasi, maka konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara mitra dagangnya di luar UE bisa ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut. “Ya, memang EUDR itu dari awal memaksakan one size fit all, yakni satu ukuran diberlakukan untuk semua," jelasnya.
Sebenarnya dari awal Indonesia, sudah meminta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya. Hanya saja, ada rencana untuk ditunda sementara karena banyak negara yang keberatan.
Sekretaris Jenderal Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) Rizal Affandi Lukman berujar, pelaksanaan EUDR dipastikan berdampak pada negara-negara Asia Tenggara, kecuali Brunai Darussalam.
“Ada tujuh komoditas yang terdampak oleh EUDR ini, termasuk sawit, kopi dan karet. Indonesia adalah produsen terbesar sawit di dunia, Vietnam produsen besar kopi, sementara Thailand karet,” paparnya.
Yang terang, pemberlakuan EUDR ini tidak hanya akan berdampak pada ekspor Indonesia ke Eropa, tapi juga impor Indonesia dari Eropa. “Ini karena EUDR mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor,” ungkapnya.
Baca Juga: Aturan Antideforestasi Uni Eropa Ditunda, Ini Harapan Pelaku Industri Sawit
Rizal menuturkan, ekspor Indonesia ke Eropa dalam bentuk produk pertanian, perkebunan dan kehutanan hanya mencapai US$4.4 miliar akibat terdampak kebijakan antideforestasi UE.
Pietro Paganini, Pengamat Minyak Nabati dari Universitas John Cabot, Roma, Italia bilang, negara-negara produsen sawit harus mengintensifkan perundingan dengan Uni Eropa dalam semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik dalam mematuhi peraturan bebas deforestasi. "Sebab, penerapannya diperkirakan tidak hanya akan di Eropa tapi di luar Eropa," sebutnya.
Ian Suwarganda, penasehat bidang sawit untuk Golden Agri-resources (GAR) menambahkan, saat ini negara-negara lain tampaknya sedang mempersiapkan aturan yang sama. “Saya kira negara-negara seperti Amerika Serikat, China dan India pun sedang berusaha merumuskan peraturan yang mirip dengan EUDR itu,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News