Reporter: Teddy Gumilar | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Keberadaan peradilan agraria dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa lahan. Penyelesaian melalui lembaga peradilan biasa pada akhirnya lebih banyak menghasilkan keputusan yang berpihak pada pemilik modal.
Masyarakat yang menghadapi sengketa lahan sering tidak berdaya ketika berharapan dengan pihak yang lebih mengenal seluk-beluk hukum dan sengketa. “Penyelesaian masalah pertanahan melalui lembaga peradilan biasa membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, sehingga tidak banyak menguntungkan masyarakat,” ujar Anggota Komisi II Djamal Azis.
Djamal bilang, lemahnya kapasitas hakim dalam memutus perkara pertanahan juga menjadi kendala. Ada sekitar 50% perkara yang belum diselesaikan di Mahkamah Agung terkait dengan persoalan tanah. “Mereka takut memutus karena tidak tahu riwayat tanahnya,” ujar Jamal.
Untuk itu, lanjut Djamal, perlu dibentuk Peradilan Agraria yang lebih bisa memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat yang tersangkut dengan masalah agraria. “Pemerintah atau DPR perlu segera mengusulkan RUU Peradilan Agraria,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Rapid Agrarian Conflict Appraisal (RACA) Institute, Boedhi Wijardjo, mengatakan bahwa kelembagaan peradilan yang tidak bisa membaca sumber masalah dari konflik agraria, membuat konfik sulit diselesaikan. Makanya, gagasan membentuk peradilan agraria adalah langkah strategis guna menyelesaikan konflik yang saat ini terjadi, dan mengantisipasi konflik agraria di masa depan.
Namun Boedhi menekankan, pembentukan peradilan agraria harus dirumuskan secara matang. Ini agar keberadaan lembaga tersebut tidak malah membuat konflik semakin berlarut. Sebab, konflik agraria sangat dipengaruhi oleh bacaan historis-sosiologis terhadap konflik dan peradilan itu sendiri. “Untuk itu, proses pengembangan peradilan agraria perlu tetap dikritisi,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News