Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melebarnya defisit neraca dagang di Januari 2019 menjadi US$ 1,16 miliar atau terdalam sejak 2014 disebabkan penurunan ekspor yang signifikan di awal tahun. Penurunan ekspor ini tak terlepas dari dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, penurunan ekspor yang signifikan di awal tahun ini memang dipicu faktor eksternal. Sebab perekonomian dunia juga tengah mengalami penurunan dan harga komoditas turun.
"Perekonomian global gloomy, Tiongkok dan Amerika Serikat menurun (pertumbuhan ekonomi) ditambah harga komoditas yang turun tentunya membuat tantangan 2019 semakin besar," jelas Kepala BPS Suhariyanto di kantornya, Jumat (15/2).
Nilai ekspor Januari 2019 mencapai US$ 13,87 miliar turun 3,24% dibanding bulan sebelumnya, juga turun 4,70% dibanding Januari 2018. Sedangkan impor Januari mencapai US$ 15,03 miliar, turun 2,19% dibanding Desember 2018 dan turun 2,19% dibanding Januari 2018.
Penurunan ekspor pada Januari 2019 disebabkan turunnya ekspor migas yang mencapai 29,30% dibanding bulan lalu. Di sisi lain impor juga mengalami penurunan karena impor migas yang turun. Meskipun hanya turun 16,50% lebih sedikit dibanding penurunan ekspor. Sehingga impor migas dapat dikatakan masih jauh lebih tinggi.
Penurunan ekspor migas, jelas Suhariyanto, disebabkan karena fluktuasi harga. Crude palm oil (CPO) misalnya, kendati volumenya naik, harga masih jatuh. Apalagi dengan adanya negatif campaign di Eropa serta pengenaan bea masuk yang tinggi di India.
"Kita sadar ekspor masih berbasis harga komoditas, karena itu harus mendorong industri pengolahan, jadi tidak dipengaruhi harga komoditas," jelas Suhariyanto.
Suhariyanto memaparkan kondisi CPO tahunan secara volume mengalami peningkatan 23,77% namun harga turun 13,59%.
Mengatasi kondisi tersebut, Suhariyanto menyarankan pemerintah untuk terus menggenjot industri manufaktur tertama makanan dan minuman. Sehingga memperbanyak varian turunan CPO, dan ekspor memiliki nilai tambah tinggi. Selain itu, masih ada industri tekstil dan alas kaki yang masih bisa digenjot.
Kendati demikian, perlu disadari bahwa pertumbuhan industri manufaktur sepanjang 2018 juga melemah. Industri manufaktur besar dan sedang tahun 2018 tumbuh 4,07% melambat bila dibanding tahun 2017 yang tumbuh mencapai 4,74%.
Fakta lain, neraca non-migas justru mengalami defisit yang lebih parah bila dibandingkan neraca migas. Disaat impor justru stagnan, ekspor non-migas malah turun. Sehingga defisit non-migas mencapai US$ 704,7 juta.
Impor non-migas mencapai US$ 13,34 miliar, terutama didorong oleh naiknya impor bahan baku/penolong 2,08% dibanding bulan lalu. "Masalahnya industri memang tidak tumbuh, sehingga ekspornya turun. Kalau pertumbuhan industri turun output turun," jelas Ekonom Indef Enny Sri Hartati saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (15/2).
Enny juga menegaskan, seharusnya saat impor bahan baku/penolong mencapai 76,21% dari keseluruhan total impor, seharusnya industri manufaktur tidak mengalami stagnansi di level kisaran 4%. Dia curiga selama ini impor yang deras merupakan barang konsumsi namun tidak terdeteksi. Sehingga dikhawatirkan bisa terjadi deindustrialisasi.
"Ini harus segera dievaluasi terutama jenis impor yang selama ini kita lakukan," imbuhnya.
Selain indutri manufaktur yang tumbuh melambat, pengenaan bea masuk India yang mencapai 54% mempengaruhi harga jual barang yang akan di ekspor. Sehingga kondisi ini juga menjadi salah satu penyebab ekspor mengalami penurunan.
Oleh karena itu, Enny menyarankan pemerintah untuk fokus pada pertumbuhan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pemerintah mesti meningkatkan daya saing produk UMKM untuk siap ekspor.
"UMKM banyak yang mempunyai keunikan dan bisa masuk ke pasar internasional," jelas Enny.
Di sisi lain, pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil juga tercatat tumbuh 5,66% bila dibanding tahun 2017 yang tumbuh 4,74%. Artinya ada harapan untuk menggenjot industri mikro dan kecil ini.
Sedangkan untuk mengatasi ketergantungan industri pada bahan baku impor, Enny menegaskan pemerintah harus menarik investor yang bergerak di hulu. Kalaupun bukan investor, bisa diserahkan kepada pihak swast dalam negeri atau pilihan terakhirnya BUMN saat tidak ada yang tertarik.
"Misal kita mampu investasi di hulu termasuk farmasi, kita akan mempunyai ruang industri dalam negeri yang memiliki daya saing tidak ketergantungan pada bahan baku walau ada depresiasi nilai tukar," ujar dia.
Di sisi tujuan ekspor, pemerintah haru segera memperluas ke pasar baru. Antara lain Afrika Selatan yang sebetulnya membutuhkan produk seperti garmen dan alas. Selain itu, Amerika Latin dan Timur Tengah yang saat ini masih kalah dengan Malaysia dan Tiongkok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News