Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kabar baik bagi pengusaha minyak bumi dan panas bumi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu) memberi kesempatan bagi pengusaha di sektor ini untuk memperbaiki data-data dalam pelaporan pajak bumi dan bangunan (PBB). Kantor pajak juga tidak akan menjatuhkan sanksi jika ada perbedaan data yang menyebabkan beban pajak berkurang.
Kemudahan ini tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 26/PMK.03/2015. Melalui beleid itu, pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak atau subjek pajak PBB migas untuk melakukan klarifikasi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran SPOP (LSPOP) yang dilaporkannya.
Klarifikasi ini penting karena Ditjen Pajak ingin membenahi peraturan tentang PBB di sektor migas dan panas bumi mulai tahun ini. Jika pengusaha tak memanfaatkan kesempatan ini, diperkirakan akan mengalami kerugian. Mengingat, jika kesempatan pembetulan ini berakhir, Ditjen Pajak akan tegas memeriksa PBB di sektor migas dan panas bumi. Pajak tak segan menjatuhkan sanksi bagi perusahaan yang tak mematuhi aturan pembayaran PBB.
Merujuk aturan baru ini, untuk memanfaatkan kesempatan pembaruan data, wajib pajak harus menunggu penelitian Ditjen Pajak lebih dulu. Sebelum membarui data, Ditjen Pajak akan memeriksa data PBB migas dan panas bumi. Selanjutnya, Ditjen Pajak akan meminta klarifikasi melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas SPOP dan LSPOP milik perusahaan itu.
Selanjutnya, jika subjek pajak menerima permintaan klarifikasi tersebut, ia harus memberikan tanggapan tertulis kepada Kementerian ESDM atau lembaga terkait paling lambat 10 hari kerja sejak permintaan diterima. Tanggapan tertulis tersebut, berisi pernyataan bahwa pengisian SPOP dan LSPOP telah sesuai aturan.
Selain itu, perusahaan migas dan panas bumi juga menjelaskan telah ada kekeliruan dalam pengisian SPOP dan LSPOP disertai dengan bukti SPOP dan LPSOP yang telah dibetulkan. Nantinya, Kementerian ESDM akan menyampaikan tanggapan tertulis atas pernyataan dan data SPOP dan LPSOP yang telah dibetulkan kepada Ditjen Pajak maksimal lima hari setelah laporan diterima.
Selanjutnya, Ditjen Pajak akan meminta konfirmasi tentang keberadaan perusahaan migas dan panas bumi kepada Kementerian ESDM. Nantinya, konfirmasi keberadaan wajib pajak perusahaan tersebut harus segera dilakukan oleh Kementerian ESDM.
Pejabat pengganti Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas Ditjen Pajak Wahju Karya Tumakaka mengatakan, kebijakan ini akan memudahkan pengusaha migas dan panas bumi membayarkan pajaknya. "Dengan klarifikasi, data perpajakan akan jelas, pengusaha tak perlu lagi mengajukan keberatan atas besaran pajak terutang yang telah ditentukan," kata Wahju, Rabu (25/2).
Kata Wahyu, selama ini SPOP dibuat oleh kontraktor migas berdasarkan wilayah kerja yang luas sekali sehingga pembayaran PBB-nya tergolong mahal. Jika mereka mengajukan keberatan, prosesnya panjang sehingga dikeluarkan aturan ini agar mereka tidak perlu mengajukan keberatan.
Potensi masalah
Menurut Wahyu, potensi kesalahpahaman pajak terutang di sektor migas dan panas akan sangat besar terjadi. Soalnya, besaran tagihan pajak akan berubah drastis.
Ketentuan ini merupakan imbas adanya insentif pajak berupa pembebasan pungutan PBB kepada perusahaan yang masih dalam tahap eksplorasi pertambangan migas yang tertuang dalam PMK Nomor 267/PMK.011/2014.
Sebelumnya, dalam aturan PBB, pemerintah mengatur nilai jual kena pajak objek pajak pertambangan adalah 40% dari nilai objek pajak. Kemudian pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan migas yang masih melakukan eksplorasi.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta Yustinus Prastowo berpendapat, aturan ini bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah pembayaran PBB perusahaan migas. Namun begitu, aturan ini belum bisa menyelesaikan sengketa pajak yang telah sampai ke pengadilan pajak. "Pengadilan akan kesulitan menetukan dasar hukumnya," kata Prastowo.
Menurut Prastowo, bagi perusahaan bersengketa, sebaiknya perlu dibuatkan aturan bahwa pengusaha tetap membayarkan PBB tetapi berdasarkan perkiraan luas wilayah eksplorasi yang akan dieksploitasi. Dengan begitu tetap terjadi self assessment dari wajib pajak. Selain itu wajib pajak membayarkan tagihan pajak sesuai penilaiannya sendiri. Negara pun tak perlu melakukan pengembalian pajak yang berlebih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News