Reporter: Ruisa Khoiriyah,UA | Editor: Test Test
Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bisa memahami keputusan pemerintah menaikkan harga bensin dan solar bersubsidi untuk menyelamatkan anggaran negara. Asal, nilai kenaikannya tidak terlalu tinggi supaya tidak memukul daya beli masyarakat.
Kadin setuju harga BBM naik bertahap, maksimal 10% dari harga sekarang. Ketua Kadin Indonesia M. S. Hidayat mengungkapkan hal ini seusai menemui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Senin (24/3).
Sikap pengusaha ini sudah menjadi usulan resmi Kadin kepada pemerintah. Meski hingga saat ini pemerintah masih malu-malu dan selalu menyatakan belum membahas opsi kenaikan harga BBM. "Ini usulan kami dan realistis. Tetapi pemerintah kan memiliki pertimbangan politis dan kami tidak bisa masuk ke wilayah itu," ungkap Hidayat, kemarin.
Kenaikan harga BBM bersubsidi sebenarnya tidak akan langsung memukul pengusaha. Maklum, selama ini pengusaha sudah menggunakan BBM non subsidi yang harganya terus naik sejak tahun lalu.
Dampak kenaikan ini bakal terasa bagi pengusaha jika kenaikan harga bensin dan solar melambungkan inflasi. Ini bisa memukul daya beli masyarakat dan menyebabkan konsumsi menurun. Alhasil, produk pabrik menjadi tidak laku. "Makanya naiknya jangan tinggi-tinggi," kata Hidayat. Sebagai catatan, hingga kemarin harga minyak mentah di pasar berjangka New York untuk pengiriman Mei masih bertengger US$ 100,02 per barel.
Pemerintah telah mengusulkan tiga cara kepada DPR mengurangi subsidi. Pertama, menaikkan harga bensin dan solar sebesar Rp 1.000 per liter secara bertahap. Kedua, pemerintah akan mengenakan cukai bensin dan solar sebesar 10% dari harga subsidi yang berlaku saat ini. Artinya harga bensin akan naik menjadi Rp 4.950 per liter dan solar Rp 4.730 per liter.
Ketiga, menerapkan pembatasan bensin dan solar lewat kartu pintar atawa smartcard. Cuma cara ini tergolong rumit dan sulit diterapkan (KONTAN, 22 Maret 2008). Pemerintah tampaknya belum bernyali membeberkan rencana tersebut. "Itu opsi terakhir, sejauh ini tidak ada arah ke sana," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Luluk Sumiarso.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News