Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pemerintah menyayangkan tingginya antusias perusahaan dalam negeri dalam mengejar sumber pembiayaan, dengan cara menambah utang dari luar negeri.
Jumlah utang luar negeri swasta terus bertambah, yang terbaru adalah salah satu perusahaan ber-plat merah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar US$ 750 miliar, yang akan jatuh tempo pada tahun 2019 nanti.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawaty, sebetulnya perusahaan-perusahaan itu bisa saja mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.
Misalnya saja dengan menerbitkan saham baru, atau menerbitkan surat utang. Dengan begitu risikonya akan lebih diminimalisir, ketimbang meminjam ke perbankan luar negeri, atau perusahaan indukdi luar negeri.
Bagi perusahaan yang bersangkutan, mungkin mencari pinjaman dari luar negeri mungkin bisa lebih menguntungkan karena biayanya yang relatif lebih ringan ketimbang bila berhutang di dalam negeri. Tetapi dampaknya terhadap fiskal pemerintah jelas bisa lebih buruk, seperti memperlemah nilai tukar rupiah.
Sejauh ini, Anny bilang, pihaknya masih terus melakukan pengawasan dan memitigasi dampak dari peningkatan jumlah utang swasta. "Harus dipastikan, ketika mereka mengajukan pinjaman itu akan tertutupi oleh pendapatannya," ujar Anny, Senin (24/2) di Jakarta.
Sebelumnya, berdasarkan Data yang dirilis Bank Indonesia (BI) akhir pekan lalu diketahui, jumlah utang swasta non-Bank Indonesia mencapai US$ 116,4 miliar, naik sangat signifikan dibandingkan tahun 2012 yang hanya sebesar US$ 103,2 miliar saja. Tingginya jumlah utang swasta ini disebabkan peningkatan aktifitas ekspansi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia.
Sekertaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, untuk saat ini memang tidak ada pilihan pembiayan yang lebih menarik ketimbang mencari pinjaman dari luar negeri. Menurutnya, biaya yang dikeluarkan pengusaha untuk mendapatkan pinjaman relatif lebih murah.
Ia mencontohkan, untuk mendapatkan pinjaman di Singapura saja, hanya dikenakan bungan sebesar 1% setahun, bandingkan jika harus meminjam dari perbankan dalam negeri yang bunganya bisa mencapai 3%.
Pengusaha juga tidak hawatir dengan berbagai risko yang bisa terjadi seperyi kerugian kurs. Sebab, sejauh ini pengusaha menghindari mengajukan pinjaman dalam bentul Dollar Ametika Serikat. "Pinjaman bisa dicari dari Cina dalam bentuk yen, atau yuan," ujar Suryadi, kepada KONTAN.
Untuk mengurangi riaiko gahal bayar mereka juga saaudah memiliki bantalan, alias jaminan seperti aset yang berada di luar negeribahkan para pengusaha juga mencari fasilitas forex swap untuk meminimalisir risiko. Suryadi mengaku, hal itu dilakukan berdasarkan pengalaman krisis keuangan yang terjadi di Indoensia tahun 1998 silam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News