kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengurangan pajak dari CSR sulit terealisasi


Jumat, 10 Desember 2010 / 07:25 WIB
ILUSTRASI. Jaringan gas rumah tangga PGN


Reporter: Irma Yani | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Keinginan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak untuk menetapkan pengurangan pajak dari corporate sosial responsibilities (CSR), rasanya akan sulit terwujud. Pasalnya, Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi menganggap CSR adalah suatu kegiatan sukarela.

“Banyak yang tidak setuju kepada CSR karena diambil dari laba bersih. Kalau dibebankan pada biaya operasional akan mengurangi daya saing perusahaan,” katanya dalam seminar Kewajiban CSR Sebagai Instrumen Pemotongan Pajak, Kamis (9/12).

Maklum saja, Achsanul memaparkan, CSR dulunya berfungsi untuk mendorong dunia usaha untuk lebih etis menjalankan usaha, agar tidak berdampak buruk pada lingkungan sekitar. Maka, CSR lebih menitikberatkan pada etika usaha. “Sesuatu yang sifatnya sukarela dijadikan kewajiban ini tidak bisa. Kalau dikaitkan dengan jumlah pajak itu tidak adil juga,” ucapnya.

Rencana penerapan pengurangan pajak melalui CSR menurutnya, merupakan masalah yang dilematis. Karena perusahaan tidak akan setuju, jika anggaran untuk CSR diambilkan dari laba bersih, begitu pula jika diambilkan dari biaya operasional.

Selain itu, ia mengatakan, masalah lain yang kemudian muncul adalah ketika dana CSR terkumpul, dibutuhkan lagi sebuah institusi yang bisa menyalurkannya. “Harus ada instansi setengah malaikat untuk menyalurkan anggarannya,” ujarnya. Maka, tambahnya, jika sesuatu yang bersifat sukarela kemudian dijadikan sebagai kewajiban akan berpengaruh besar pada perusahaan.

“Jadi tidak mudah merealisasikan pemotongan CSR menjadi kewajiban pajak. Saya usulkan agar sesuatu yang sukarela kalau dipaksa jadi wajib dan dikenakan sanksi akan sangat berpengaruh pada perusahaan” tandasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penyuluhan dan Pelayanan (P2 Humas) Ditjen Pajak Iqbal Alamsyah mengutarakan, sebenarnya peraturan tentang CSR sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 40 Tahun 2007 yang menyebutkan CSR merupakan kewajiban perseroan dan dianggarkan oleh perseroan. Menurutnya, UU Nomor 40/2007 itu diperkuat dengan UU Nomor 25/2007 yang menyebutkan tanggungjawab CSR melekat bagi perusahaan sesuai dengan nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

“Kesulitan sekarang adalah, rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang mengatur CSR masih digodok, sehingga belum jelas aturan yang memperkuat,” ujarnya. Sayang, Iqbal belum mau memastikan kapan RPP itu akan dirampungkan pembahasannya. Iqbal pun mengakui belum bisa mengungkapkan berapa besaran pajak yang akan ditetapkan.

Namun, menurut Iqbal, pengurangan pajak melalui CSR bisa dikenakan dari penghasilan bruto. Hanya saja, jangan sampai perusahaan terbebani dengan adanya CSR. Syarat perusahaan yang bisa dikurangi pajak melalui CSR adalah mempunyai penghasilan neto pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, Praktisi Hukum Indra Safitri mengatakan, pro kontra tentang CSR muncul karena sulitnya mengimplementasikan pasal 74 UU PT. CSR sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi, pertama apakah bagian dari bisnis strategi atau dari sumbangan perusahaan. “Lebih mudah memang jika CSR itu dalam bentuk sumbangan. Jadi jika ingin direalisasikan, masih butuh waktu yang panjang,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×