kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengobatan skizofrenia butuh skema pembiayaan asuransi


Jumat, 31 Agustus 2018 / 21:54 WIB
Pengobatan skizofrenia butuh skema pembiayaan asuransi
ILUSTRASI. PESERTA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL KIS


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Skizofrenia adalah penyakit jiwa terberat dan kronis. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya skizofrenia, mulai dari faktor genetis, kondisi pra-kelahiran, cedera otak, trauma, tekanan sosial, hingga stres bisa menyebabkan gangguan mental ini. Bahkan, pemakaian narkotika dan obat-obatan psikotropika juga bisa memicu skizofrenia.

Sayang, penanganan penyakit skizofrenia belum maksimal. Penderita enggan berobat karena takut dicap gila. Akibat stigma buruk dari masyarakat tersebut justru akan memperparah kondisi penderita karena enggan berobat.

Diah Ayu Puspandari, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, untuk memberikan pengobatan skizofrenia yang efektif dan efisien, diperlukan model manajemen layanan yang komprehensif dan mekanisme pembiayaan yang memadai. Panduan yang dirumuskan bersama dalam forum ini merupakan langkah pertama dalam mengembangkan model manajemen pembiayaan yang ideal untuk layanan skizofrenia.

"Skema pembiayaan melalui sistem asuransi nasional dan swasta di masing-masing negara di Asia Tenggara perlu memasukkan pembiayaan kesehatan jiwa, termasuk skizofrenia, sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan masyarakat yang meliputi kesehatan fisik dan jiwa," katanya pada kegiatan Southeast Asia (SEA) Mental Health Forum 2018, Jumat (31/8).

Menurut Diah, mengingat skizofrenia adalah penyakit kronis yang membutuhkan penanganan yang sangat lama, diperlukan model layanan non-stigma, mudah didapatkan, ramah-pasien, tidak diskriminatif untuk menyediakan layanan yang berkelanjutan dan komprehensif dengan pembiayaan yang memadai.

Untuk itu dalam forum yang diselenggarakan Johnson & Johnson, para ahli kesehatan jiwa terkemuka dari wilayah Asia Tenggara bertemua dan saling berbagi pembelajaran dan mengembangkan strategi untuk mengatasi kesenjangan dalam manajemen kesehatan mental. Lebih dari 150 peserta yang berasal dari kalangan dari bisnis, pemerintah, organisasi internasional, masyarakat sipil, akademisi dan media berpartisipasi dalam forum tersebut.

Eka Viora, Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) bilang, Southeast Asia (SEA) Mental Health Forum 2018 menilai, forum ini yang sangat penting dalam membangun komitmen bersama para ahli kesehatan jiwa di seluruh kawasan Asia Tenggara. "Kegiatan ini adalah forum komunikasi antara para profesional di bidang kesehatan jiwa yang memungkinkan setiap peserta untuk mendapatkan pengalaman dan tantangan dalam upaya untuk memperkecil kesenjangan dalam layanan kesehatan jiwa, terutama skizofrenia," sebutnya.

Hal senada diutarakan Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan yang mengatakan, pembangunan kesehatan manusia perlu memasukkan kesehatan fisik dan kesehatan jiwa sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. "Indonesia adalah salah satu negara yang berkomitmen untuk mewujudkan perbaikan kesehatan jiwa sebagai upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs)," ungkapnya.

Sementara Lakish Hatalkar, Presiden Direktur PT Johnson & Johnson Indonesia menyatakan bahwa, tidak ada negara yang kebal terhadap tantangan kesehatan jiwa (mental). Kondisi fisik dan mental yang sehat adalah elemen utama yang membentuk manusia, baik sebagai individu maupun makhluk sosial dan ekonomi. "Forum ini menjelaskan bahwa tidak hanya penting bagi negara-negara Asia Tenggara untuk menerapkan kebijakan dan layanan kesehatan jiwa yang lebih baik, tetapi peran dari semua para pemangku kepentingan yang terkait juga sangat diperlukan untuk mengubah perilaku 'orang dengan gangguan jiwa’ (ODGJ) dan keluarga mereka,” ujarnya.

Bila merujuk data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2013 menunjukkan prevalensi gangguan jiwa emosional yang ditunjukkan oleh gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari total penduduk Indonesia. Sedangkan untuk prevalensi gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.

Sementara itu, menurut data WHO pada tahun 2016, secara global, terdapat sekitar 35 juta orang yang mengalami depresi, 60 juta orang dengan gangguan bipolar, 21 juta orang dengan Skizofrenia, dan 47,5 juta orang dengan demensia. Secara global, mayoritas dari mereka yang membutuhkan perawatan kesehatan jiwa di seluruh dunia tidak memiliki akses ke layanan kesehatan mental berkualitas tinggi. Stigma, kurangnya sumber daya manusia, model pemberian layanan yang terfragmentasi, dan kurangnya kapasitas penelitian untuk implementasi dan perubahan kebijakan berkontribusi pada kesenjangan perawatan kesehatan jiwa saat ini.

Fakta yang dikeluarkan oleh WHO, Mental Health Gap Action Programme (MHGAP) pada tahun 2008 telah memperkirakan bahwa lebih dari 75% orang dengan gangguan jiwa di negara-negara berkembang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan. Laporan yang sama menyatakan bahwa setidaknya sepertiga pasien dengan Skizofrenia dan lebih dari setengahnya menderita depresi, mengkonsumsi alkohol dan menyalahgunakan narkoba, tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dalam setahun. Laporan WHO tentang Investing in Mental Health pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalokasikan kurang dari 2% atau bahkan 1% dari anggaran kesehatan untuk perawatan dan pencegahan gangguan jiwa atau mental.  

Pengobatan skizofrenia di banyak negara pada saat ini masih terhalang oleh banyak stigma negatif yang melekat pada 'orang-orang dengan skizofrenia' dan keluarga mereka. Akibatnya, sejumlah kasus skizofrenia tidak pernah dilaporkan dan tidak mendapatkan tindak lanjut secara medis. Karena itu, WHO terus menyerukan kepada para pihak pemerintah, donor dan pemangku kepentingan di bidang kesehatan jiwa untuk segera berupaya meningkatkan pendanaan dan layanan kesehatan jiwa dasar untuk menutup kesenjangan yang sangat besar ini.
 
Menurut WHO, terdapat pengobatan yang efektif untuk skizofrenia dan orang yang terkena dampaknya dapat menjalani kehidupan yang produktif dan terintegrasi dalam masyarakat. Penyakit jiwa tersebut sebenarnya dapat diobati dan dikendalikan. Kuncinya adalah dengan cara memiliki sistem pendukung yang kuat dan mendapatkan perawatan yang tepat. Dengan pengobatan yang tepat, sebagian besar orang dengan skizofrenia dapat memiliki pekerjaan yang layak dan menjadi produktif dan bahkan mampu memiliki aktivitas lain yang bermakna, menjadi bagian dari komunitas, serta menikmati hidup.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×