kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penggunaan teknologi dinilai penting untuk menggenjot penerimaan pajak


Rabu, 13 Oktober 2021 / 13:36 WIB
Penggunaan teknologi dinilai penting untuk menggenjot penerimaan pajak
ILUSTRASI. Petugas keamanan berjalan di dekat slogan bertuliskan 'Pajak Kuat Indonesia Maju' di sebuah Kantor Pelayanan Pajak, Jakarta, Rabu (14/7/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada tahun 2045, Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan ke-100. Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya ide, wacana, dan gagasan Generasi Emas 2045.

Generasi emas tersebut karena pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif, sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif pada periode tahun 2020-2045. 

Namun pengamat pajak Hadi Poernomo menilai bonus demografi ini merupakan pedang bermata dua. Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik akan membawa dampak buruk terutama masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi. “Melihat dari fakta yang akan dihadapi Indonesia tersebut bonus demografi memang tidak bisa dihindari,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (13/10).

Untuk dapat memanfaatkan bonus demografi tersebut, dia bilang negara memerlukan modal yang memadai. Dewasa ini, modal utama dari negara adalah sektor perpajakan. Namun ironisnya sektor perpajakan terus menerus mengalami penurunan performa. Hal tersebut dibuktikan dengan terus menurunnya tax ratio

Baca Juga: Kemenkeu sebut Indonesia menjadi negara penggerak pertama pajak karbon di dunia

“Untuk itulah diperlukan adanya sebuah perubahan dalam sistem perpajakan, salah satunya adalah penggunaan teknologi dalam sebuah bank data perpajakan,” paparnya.

Sejarah menuliskan bahwa adanya perubahan mendasar dalam reformasi perpajakan tahun 1983, dimana terjadi perubahan sistem pemungutan pajak dimana sebelumnya Indonesia menganut official assessment system berubah menjadi self assessment system.

Namun sistem tersebut memiliki kelemahan yang sangat mencolok, yaitu ketiadaan data pembanding yang dimiliki petugas pajak atas laporan yang diberikan oleh wajib pajak. Hal tersebut memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan ketidakjujuran dalam laporan pajak mereka. 

Untuk itulah, kata Hadi, DJP mencoba mewujudkan SIN Pajak dalam bank data perpajakan yang digunakan sebagai data pembanding bagi petugas pajak atas laporan-laporan pajak dari wajib pajak.

SIN Pajak dalam bank data perpajakan disebutnya memberikan solusi dalam rangka pencapaian target penerimaan perpajakan baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi perpajakan. Dengan menggunakan data SIN Pajak dalam bank data perpajakan, DJP dapat memetakan sektor-sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan. 

Baca Juga: Pengamat: Ekonomi digital harus utamakan produk lokal

SIN Pajak mampu menyediakan data-data wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya. Pemetaan tersebut adalah dengan konsep link and match dimana uang atau harta baik dari sumber yang legal maupun ilegal selalu digunakan dalam 3 (tiga) sektor, yaitu konsumsi, investasi, dan tabungan. 

Dengan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, penerimaan perpajakan diyakini dapat mencapai target, bahkan jika dilihat dari potensi perpajakan yang ada sangat dimungkinkan akan dapat melebihi target pajak yang telah ditetapkan.

Imbasnya menurut Hadi, surplus tersebut akan dapat digunakan sebagai investasi negara dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045.

Selanjutnya: Kemenperin dukung pembangunan smelter Freeport Indonesia di Kawasan Industri JIIPE

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×