kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.476.000   8.000   0,54%
  • USD/IDR 15.855   57,00   0,36%
  • IDX 7.134   -26,98   -0,38%
  • KOMPAS100 1.094   -0,62   -0,06%
  • LQ45 868   -3,96   -0,45%
  • ISSI 217   0,66   0,31%
  • IDX30 444   -2,90   -0,65%
  • IDXHIDIV20 536   -4,36   -0,81%
  • IDX80 126   -0,06   -0,05%
  • IDXV30 134   -2,14   -1,58%
  • IDXQ30 148   -1,23   -0,83%

Pengendalian BBM bersubsidi mutlak


Sabtu, 02 Agustus 2014 / 09:59 WIB
Pengendalian BBM bersubsidi mutlak
ILUSTRASI. PT Jababeka Tbk (KIJA) mengaku optimis bisnisnya dapat bertumbuh. KONTAN/Daniel Prabowo


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Kebijakan pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi mutlak diperlukan karena persediaan premium dan solar bersubsidi berdasarkan kuota yang ada sangat terbatas. Hingga Juli 2014, persediaan premium tinggal 42% dan solar bersubsidi tinggal 40% dari kuota tahun ini. Untuk premium diperkirakan akan habis pada 19 Desember 2014 dan solar bersubsidi pada 30 November 2014.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir, Jumat (1/8/2014), di Jakarta, mengatakan, sampai 31 Juli, data sementara realisasi konsumsi solar bersubsidi sudah mencapai 9,12 juta kiloliter atau 60 persen dari total kuota premium bersubsidi yang dialokasikan kepada Pertamina, sebesar 15,16 juta kiloliter. Adapun realisasi konsumsi premium bersubsidi mencapai 17,08 juta kiloliter atau 58 persen dari total kuota BBM bersubsidi kepada Pertamina, sebesar 29,29 juta kiloliter.

”Dengan kondisi tersebut, masyarakat diharapkan dapat memahami pelaksanaan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi. Melalui kebijakan itu, penyediaan BBM bersubsidi bisa cukup sampai dengan 31 Desember 2014,” kata Ali. DPR dan pemerintah menetapkan kuota BBM bersubsidi tahun ini 46 juta kiloliter, turun dari 48 juta kiloliter tahun lalu.

Menurut Ali, pada 1 Agustus, Pertamina tidak lagi menyalurkan solar bersubsidi di 26 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Jakarta Pusat. Total konsumsi solar bersubsidi di lokasi ini 90 kiloliter per hari. Kemudian, pada 4 Agustus, Pertamina meminta semua SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali agar menjual solar bersubsidi hanya pada pukul 08.00-18.00 di kluster-kluster tertentu.

Kluster-kluster itu difokuskan di kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan wilayah yang dekat pelabuhan, yang rawan penyalahgunaan solar bersubsidi. Adapun di SPBU di jalur utama distribusi logistik tidak diberlakukan pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi.

”Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu, seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar wilayah Kalimantan, tetap akan menerapkan aturan sesuai yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat,” kata Ali.

Ali menambahkan, pada 6 Agustus, sebanyak 29 unit SPBU di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi dan hanya menjual pertamax yang merupakan BBM nonsubsidi. Konsumsi premium bersubsidi di semua SPBU ini mencapai 725 kiloliter per hari. Dari jumlah itu, 27 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region III (Jawa bagian Barat) dan 2 unit SPBU di wilayah Marketing Operation Region V (Jawa Timur).

Dampak pembatasan

Pertamina juga telah meminta kepada pemerintah daerah agar segera menyosialisasikan pengurangan solar bersubsidi sebesar 20% kepada para nelayan. Adapun kuota solar bersubsidi bagi nelayan hingga 31 Juli tinggal 900.000 kiloliter.

”Solar bersubsidi itu hanya untuk kapal berbobot mati di bawah 30 GT (gros ton). Mekanisme penyalurannya diserahkan kepada pemerintah setempat. Sementara untuk pengawasannya, kami berharap ada keterlibatan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum,” ujar Ali.

Dampak pembatasan BBM bersubsidi mulai dirasakan pengelola dan pengguna, khususnya di wilayah Jakarta Pusat. Hal itu karena, selain kebijakan yang terkesan mendadak, larangan penjualan solar bersubsidi berdasarkan wilayah hanya mendorong pengguna mencari solar bersubsidi ke tempat lain yang boleh.

Pengawas SPBU Pramuka, Jakarta Pusat, Aswir, mengatakan, banyak pengguna yang tidak jadi membeli solar setelah mengetahui harganya berubah. Bakal terjadi penurunan penjualan solar di SPBU tersebut.

Solar yang dijual di wilayah Jakarta Pusat tidak lagi Rp 5.500 per liter, tetapi telah sesuai dengan harga keekonomian, yaitu Rp 12.800 per liter. Harga ini tidak berbeda jauh dengan harga Pertamina Dex (solar berkualitas tinggi), yaitu Rp 13.150 per liter.

”Sebelum mengisi BBM ke mobil, kami jelaskan dulu terkait kebijakan pengendalian ini. Sebab, kami tidak ingin mereka marah dengan adanya perubahan harga solar,” kata Aswir di Jakarta, Jumat (1/8/2014).

Akibatnya, penjualan solar bersubsidi di tempatnya pun menurun sekitar 10% dibandingkan dengan hari sebelumnya. Penurunan ini belum begitu drastis karena penjualan belum kembali normal mengingat pekan ini masih liburan.

Pengawas SPBU Theresia, Jakarta Pusat, Heri, menyatakan, pembatasan solar bersubsidi yang hanya di wilayah Jakarta Pusat membuat pengelola SPBU harus bekerja ekstra. Hal itu karena sisa solar yang belum terjual menjadi beban bagi pengelola karena dijual Rp 12.800 per liter.

Petugas PT Pertamina (Persero) Wilayah V, Hari Prasetyo, yang melakukan pengecekan di tiga SPBU pada Jumat dini hari, mengatakan, pemerintah akan membantu pengelola apabila SPBU tidak mampu menjual habis solar subsidi yang tersisa. Namun, bentuk bantuan tersebut belum ditentukan secara pasti. (A04/A10/HEN/PRA/JUM)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek)

[X]
×