kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengenaan PPh final sewa tanah dan bangunan dinilai multitafsir, ini kata CITA


Selasa, 01 September 2020 / 14:40 WIB
Pengenaan PPh final sewa tanah dan bangunan dinilai multitafsir, ini kata CITA
ILUSTRASI. Ilustrasi pajak pph. KONTAN/Baihaki/20/10/2016


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2019 pengenaan pajak penghasilan (PPh) Final atas sewa tanah dan bangunan menjadi fokus yang perlu dievaluasi dalam perbaikan aturan ke depan. 

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan,  diskursus mengenai PPh Final atas sewa tanah dan bangunan telah lama muncul ke permukaan dan dianggap rawan terhadap terjadinya perbedaan penafsiran antara wajib pajak (WP) dengan fiskus maupun di antara fiskus itu sendiri.

Baca Juga: PPh final atas sewa tanah dan bangunan dievaluasi, ini pendapat pengamat pajak

Sebagai contoh pengenaan pengenaan PPh bagi rumah kos, pasca penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. 

Terlihat jelas dalam penjelasan Pasal 2 ayat 3 PP itu bahwa rumah kos dikategorikan sebagai jasa pelayanan penginapan sehingga bukan merupakan objek PPh Final. Namun, dalam ketentuan itu masih terdapat hal yang menimbulkan multi tafsir, yaitu mengenai penjelasan ayat (1) yang menyatakan bahwa persewaan kamar dalam rumah masih merupakan objek PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan. 

“Atau misalnya cafe dan restaurant, saat mengadakan acara di sebuah cafe, misal di cafe Kopikita, nah itu diasumsikan sebagai sewa tempat atau beli makan bonus tempat yang terkadang masih beda tafsir antara fiskus dengan WP atau antara sesama fiskus,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (31/8).

Menurutnya, bagi WP Khusus bagi WPOP, ketidakpatuhan pajak salah satunya disebabkan karena WP masih kebingungan apakah harus melaporkan PPh dengan menggunakan tarif 10% atau menggunakan tarif PPh Pasal 17 atau 1% sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013.

Baca Juga: Penerimaan pajak tertekan begini kata ekonom CORE

“Dengan berbagai diskursus yang telah lama muncul tersebut, seyogianya DJP segera dapat menginventarisir berbagai masalah teknis dan potensi multitafsir peraturan yang ada,” ujar dia.

Fajry mengimbau, melalui proses yang lebih deliberative, diharapkan segera muncul aturan baru yang mampu mendefinisikan aturan secara lebih jelas dan dapat menciptakan kepastian hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×