Reporter: Tedy Gumilar | Editor: Edy Can
JAKARTA. Pengembang properti memprotes Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasalnya, pengusaha properti ini khawatir tanah yang dikuasainya bisa dianggap sebagai tanah telantar dan disita bila tak kunjung dibangun.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Teguh Satria mengatakan, aturan itu tidak masuk akal bagi pengembang. Sebab, dia berdalih bisnis properti dibangun secara bertahap sesuai dengan permintaan konsumen. Sebagai ilustrasi, Teguh menyatakan dalam setahun satu pengembang paling banyak hanya bisa menjual 2.000 unit properti.
Artinya, jika pengusaha berencana untuk membangun 50.000 unit dalam satu lokasi, maka membutuhkan waktu 25 tahun. “Kalau cuma dikasih tiga tahun, ya habis kami,” tuturnya.
Teguh mencontohkan seperti tanah milik pengembang Bumi Serpong Damai (BSD) yang luasnya ribuan hektare. Menurutnya, sebagian tanah milik pengembang tersebut masih belum dibangun meski sudah mengembangkan kawasan itu 21 tahun lalu. “Pengembang bukannya enggak mau cepat-cepat bangun. Tapi kan kami bangun sesuai engan permintaan masyarakat,” kata Teguh
Asal tahu saja, berdasarkan peraturan pemerintah itu, tanah yang dianggap telantar apabila terhitung mulai tiga tahun sejak diterbitkannya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah. Dengan status tanah telantar ini, pemerintah berhak menyita lahan tersebut.
Selain itu, Teguh berbalik menyalahkan pemerintah yang menyatakan mangkraknya beberapa proyek properti juga karena sikap pemerintah yang tidak konsisten. Ia menyebutkan pada tahun 1995 pemerintah pernah meminta pengembang membebaskan lahan untuk kepentingan properti di Majalaya, Jawa Barat. “Iming-imingnya, nanti akan ada akses tol, ada double track rel kereta api tapi ternyata tidak,” tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News