kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengamat: Kuota BBM Subsidi Bisa Tetap Jebol, Kenaikan Harga Tak Bisa Tekan Konsumsi


Minggu, 04 September 2022 / 11:54 WIB
Pengamat: Kuota BBM Subsidi Bisa Tetap Jebol, Kenaikan Harga Tak Bisa Tekan Konsumsi
ILUSTRASI. Menurut pengamat, pengumuman kenaikan harga BBM harusnya dibarengi dengan pengaturan pembatasan pembelian BBM Subsidi. KONTAN/Fransiskus SImbolon


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Executive Director of Institute for Development Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai kenaikan harga BBM Subsidi terlalu tinggi di mana harga Pertalite dan Solar naik sekitar 30% sedangkan Pertamax naik 16% dibandingkan harga sebelumnya. Adapun selisih harga Pertalite dan Pertamax menjadi semakin jauh, Pertalite Rp 10.000 per liter dan Pertamax Rp 14.500 per liter. 

Dia menyayangkan, pengumuman kenaikan harga tidak dibarengi dengan pengaturan pembatasan pembeli BBM Subsidi. 

“Harusnya bareng kemarin diumumkan. Tetapi ini tergantung persiapan pemerintah terutama pengawasan. Tanpa ada pengawasan di seluruh SPBU hanya mengandalkan pegawai SPBU saja sulit,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (4/9). 

Pasalnya, jika pembatasan pembelian BBM Subsidi menimbang CC kendaraan, pemeriksaan akan lebih rumit karena STNK juga harus diperiksa. Di sisi lain pendaftar BBM Subsidi ke Pertamina juga belum maksimal.

Baca Juga: Kenaikan Harga BBM Diikuti Kenaikan Harga Komoditas Lain, Ini Kata Pengamat

Maka itu, migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite tidak bisa terhindarkan. Ujung-ujungnya kuota BBM Subsidi tetap bisa jebol.

“Ini yang secara alamiah terjadi, terutama terjadi migrasi untuk golongan di atas 1.500 cc. Pada akhirnya jebol juga dan kuotanya akan tambah mau tidak mau,” jelasnya. 

Tauhid menilai, mungkin saja strategi menaikkan harga BBM yang dilakukan pemerintah kemarin untuk menahan agar jebolnya anggaran tidak separah jika tidak ada kenaikan. 

Menurut pantauan Kontan.co.id di Tangerang Selatan pada 3 September 2022, harga BBM RON 92 antara Pertamina dan SPBU lain menjadi semakin ketat. 

Artinya, harga keekonomian Pertamax semakin dekat dengan pesaing lain. Maka tidak heran jika masyarakat jadi berbondong-bondong mengisi bensin di SPBU lain yang selisih harganya sangat tipis. 

Melansir laman resmi Shell Indonesia (shell.co.id) harga Shell Super (RON 92) saat ini senilai Rp 15.420 per liter di Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. 

Adapun di Sumatra Utara Rp 15.750 per liter. Jika dibandingkan dengan Pertamax, maka selisih harga antara keduanya hanya senilai Rp 920/liter hingga Rp 1.250 per liter. 

Selain itu, di SPBU BP-AKR harga BP 92 saat ini Rp 15.990 per liter. Jika dibandingkan dengan Pertamax maka selisih harganya hanya Rp 1.490 per liter. 

Sedangkan di SPBU Vivo yakni Revvo 92 Rp 15.400 per liter sehingga selisih harganya dengan Pertamax senilai Rp 900 per liter. 

“Masyarakat jadi diberikan opsi BBM yang lain, bahwa dari penyalur BBM lain kualitasnya lebih baik dibandingkan Pertamina,” terangnya. 

Namun dengan semakin dekatnya harga keekonomian bensin Pertamina dengan pesaing, Tauhid bilang hal ini juga akan berdampak pada berkurangnya pasar atau pelanggan Pertamina. 

Inflasi bisa melonjak

Tauhid mengatakan, dengan kenaikan harga BBM yang terlalu tinggi, akan berdampak pada kenaikan inflasi. Menurut proyeksi Tauhid, inflasi bisa mencapai 7% di akhir tahun nanti. Otomatis persoalan ini semakin membebani masyarakat. 

“Masyarakat miskin akan sangat sulit mendapatkan daya beli yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini yang saya kira menjadi masalah karena masyarakat menengah masih bisa tahan, tetapi bagi masyarakat ekonomi ke bawah ini cukup besar dampaknya,” ujarnya. 

Baca Juga: Harga BBM Naik, Organda Minta Pedoman Penyesuaian Tarif Angkutan

Dia berpesan supaya pemerintah memikirkan ulang dampak kenaikan harga BBM Subsidi ke inflasi dan kemiskinan. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah pun dinilai tidak bisa membantu banyak karena nominalnya terlalu kecil, hanya Rp 150.000 per bulan. 

Tauhid memberikan gambaran perhitungan kasarnya, kenaikan Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 sehingga selisih kenaikannya Rp 2.350 per liter. Misalnya saja satu keluarga mengonsumsi 4 liter untuk dua motor sehari, berarti 4 liter dikalikan Rp 2.350 menjadi Rp 9.400. Anggaplah 20 hari kerja, sehingga Rp 9.400 dikalikan 20 hari sama dengan Rp 188.000. 

“Nilai bantuannya Rp 150.000 di situ saja sudah kurang,” terangnya. 

Sebelumnya, pemerintah telah menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai salah satu bentuk pengalihan subsidi BBM.

Dalam konferensi pers Sabtu (3/9), Presiden Joko Widodo menyebut BLT BBM yang akan disalurkan pemerintah senilai Rp 12,4 triliun dan akan dibagikan ke 20,65 juta warga yang kurang mampu. Masyarakat kurang mampu masing-masing akan menerima BLT sebesari Rp 150.000 per bulan dan mulai diberikan pada September selama 4 bulan. 

Selain itu, Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan maksimum gaji Rp 3,5 juta per bulan dalam bentuk bantuan subsidi upah yang diberikan Rp 600.000. 

Joko Widodo juga mengatakan, pihaknya memerintah Pemerintah Daerah untuk menggunakan 2% dana transfer umum atau senilai Rp 1,27 triliun untuk bantuan angkutan umum, bantuan ojek online, dan nelayan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×