Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong aparat penegak hukum untuk mengoptimalkan asset recovery dalam setiap perkara tindak pidana ekonomi.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, selama kurang lebih 17 tahun belakangan ini, penindakan terhadap tindak pidana pencucian uang dinilai masih minimal.
Seharusnya semua aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana bermotif ekonomi harus selalu harus disertai tindak pidana pencucian uang ketika melakukan penyidikan dan penuntutan.
Ia menuturkan, pihaknya telah bertemu dengan Kapolri, Jaksa Agung dan KPK meminta supaya setiap tindak pidana ekonomi harus disertai dengan tindak pidana pencucian uang. Hal Ini untuk membantu asset recovery yang baik.
Baca Juga: Cegah tindak pidana pencucian uang, PPATK perkuat sinergi dengan BPKP
"Recovery Aset yang tadinya salah satu sasaran UU TPPU kita ini, tidak menunjukkan hasil yang signifikan karena berbagai persoalan. Ini kalau yang kita lihat tindak lanjut itu masih dibawah 50 persen. PPATK sudah menyerahkan hasil analisis dan hasil pemeriksaan hampir mencapai jumlah 5.000 ke seluruh aparat penegak hukum, tapi mungkin yang ditangani masih jumlah ratusan," kata Dian dalam diskusi virtual, Rabu (7/4).
Dian menerangkan, tindak pidana perekonomian dan/atau shadow economy berdampak pada terganggunya perekonomian.
Menurut berbagai analisis dari berbagai lembaga internasional menyatakan, potensi kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana ekonomi mampu mencapai sekitar 20 persen sampai 40 persen dari GDP (gross domestic product/produk domestik bruto).
Ia menilai, saat ini belum ada faktor penjera untuk tindak pidana ekonomi. Apalagi yang menjadi prioritas dalam penegakan hukum adalah mengejar penjahat ekonomi tanpa dibarengi dengan mengejar asset recovery.
"Sehingga mungkin banyak yang pasang badan, kemudian dipenjara sekitar 5 tahun atau 3 tahun, setelah itu selesai keluar penjara, aset nya masih banyak yang tersisa," ujar Dian.
Oleh karena itu, PPATK berharap RUU perampasan aset tindak pidana dapat segera masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2021 atau setidaknya masuk prolegnas prioritas tahun 2022.
Konsep perampasan aset dimaksudkan supaya bisa meningkatkan efektivtas pemberantasan tindak pidana ekonomi. "Karena kita menganggap tindak pidana ekonomi darah yang menghidupinya ya uang, aset," terang Dian.
PPATK menilai adanya RUU perampasan aset tindak pidana menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan yang terkait tindak pidana ekonomi di Indonesia.
Apalagi dengan masifnya tindak pidana seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana penipuan, tindak pidana narkoba, tindak pidana di sektor perbankan, pasar modal, Illegal logging, dan Illegal fisihing.
Baca Juga: Investor lebih baik pilih saham di sektor yang recovery atau sektor hot?
"Jadi ini potensi kerugian yang bisa di recover sekitar kurang lebih mencapai angka Rp 100 triliun, kemudian dalam kenyataannya mungkin hanya mencapai Rp 1 triliun - Rp 2 triliun. Ini sesuatu hal yang semacam ironi karena kami tahu persoalan, kami sudah melakukan analisis, pemeriksaan, tetapi tidak ditindaklanjuti," tutur Dian.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengakui, RUU perampasan aset tindak pidana belum masuk pada prolegnas prioritas tahun 2021. Sebab penetapan Prolegnas prioritas tahun ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR.
"Tetapi saya kira nanti pada bulan Juni 2021 itu ada evaluasi terhadap pelaksanaan prolegnas, biasanya RUU yang dipandang urgent, sangat mendesak, bisa diajukan dalam revisi prolegnas prioritas pada tahun 2021," ujar Edward.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News