Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah meminta pemerintah daerah mempercepat realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pasalnya, hingga awal paruh kedua tahun ini, realisasi belanja APBD malah menurun dari periode yang sama tahun lalu.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan, belanja APBD hingga akhir Juli 2021 tercatat Rp 443,43 triliun atau turun 0,75% yoy dari realisasi per Juli 2020 yang sebesar Rp 446,7 triliun.
“Kami terus memantau belanja APBD, karena ingin lebih cepat realisasinya. Apalagi, di tengah naiknya Covid-19, semoga belanja lebih cepat, apalagi belanja perlindungan sosial dari APBD,” ujar Suahasil dalam konferensi pers daring APBN KiTa belum lama ini.
Suahasil pun memerinci, per jenis belanja, belanja barang dan jasa APBD tercatat Rp 100,08 triliun atau turun 1,1% yoy dari Juli 2020 yang sebesar Rp 101,18 triiun. Ini pun baru mencakup 8,2% terhadap total APBD.
Baca Juga: Pemerintah anggarkan stimulus Rp 27,28 triliun bagi UMKM pada tahun depan
Belanja modal tercatat Rp 27,31 triliun, bahkan merosot 13,4% yoy dari Juli 2020 yang sebesar Rp 31,54 triliun. Bahkan, penyerapannya seret, masih 2,3% dari total APBD. PUn dengan belanja lainnya tercatat Rp 104,23 triliun atau turun 5,3% yoy dari Rp 110,01 triliun pada periode sama tahun lalu.
Di sisi lain, belanja pegawai tercatat Rp 211,81 triliun, atau meningkat 3,8% yoy dari Rp 204,04 triliun pada periode sama tahun sebelumnya.
Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyarankan, pemerintah daerah perlu fokus pada belanja yang efeknya pada serapan tenaga kerja maupun pengembangan potensi daerah.
Hal ini, agar belanja APBD bisa cepat dan tepat. Alias, memang benar untuk hal yang esensial. “Dalam hal ini, pemda perlu fokus program di daerah untuk sektor yang memberi dampak paling positif tersebut. Jangan terlalu banyak program, karena ini akan tidak efektif sehingga output ekonomi di daerah menjadi tidak optimal,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (27/8).
Baca Juga: PPKM berlangsung 2 bulan, begini dampaknya terhadap perekonomian
Di sinilah pentingnya reformulasi dan sinkronisasi hubungan antara pusat dan daerah, khususnya dalam pemanfaatan DAU maupun DAK hanya untuk kegiatan yang memang benar-benar prioritas. Terlebih diperlukan disiplin fiskal menuju tingkat defisit 3% pada 2023.
Secara khusus, ia juga menyoroti beban belanja pegawai di daerah yang terlampau gemuk. Porsi belanja pegawai masih di kisaran 32,4% dari total belanja APBD. Salah satu faktor yang membuat belanja pegawai di daerah besar porsinya adalah standard tunjangan kinerja dan honorarium terlalu jauh bervariasi.
“Ada daerah yang uang harian perjalanan dinasnya lebih tinggi 50% dari standar pemerintah pusat. Begitu juga honorarium 30% lebih tinggi dari standar pusat,” katanya.
Kalau anggaran belanja pegawai berasal dari transfer daerah APBN, maka Bhima menyarankan sebaiknya perlu dibuat standardisasi sehingga belanja perjalanan dinas dan komponen belanja pegawai lainnya sama dengan pusat.
Bhima juga menilai, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak seimbang dengan kebutuhan masyarakat. Hingga 2019, jumlah ASN di daerah mencapai 3,2 juta orang. Padahal pemerintah daerah bisa mengurangi rekrutmen PNS baru dengan digitalisasi.
Ia mengimbau, pemerintah melakukan asistensi dan pengembangan teknologi untuk membuat jumlah ASN lebih proporsional, sehingga anggaran yang ada bisa disalurkan ke belanja yang lebih esensial terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Setiap ASN yang kerja nya manual, berulang, kemudian terkait administrasi teknis sebaiknya diganti dengan sistem administrasi online. Harapannya jumlah ASN daerah bisa direduksi hingga 30% dalam 5 tahun ke depan,” tandasnya.
Selanjutnya: Terlibat skandal BLBI, Satgas BLBI sita aset rumah mewah di Karawaci
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News