Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) menyepakati harga jual nikel ore ke smelter atau pabrik pengolahan dalam negeri sebesar US$ 30 per metrik ton.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, penetapan harga jual nikel ore menyesuaikan harga internasional yang ditetapkan oleh China dengan dikurangi pajak dan biaya transshipment untuk kadar di bawah 1,7%. Hal tersebut berguna untuk menjaga harga jual nikel di tengah larangan ekspor nikel yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2020.
Baca Juga: Blunder pertama di pemerintahan Jokowi, penyetopan ekspor nikel yang tidak jelas
Bahlil menegaskan jika ada sentimen yang menyebabkan fluktuasi harga, pengusaha tidak boleh mematok harga di luar rentang harga nikel ore yang ditetapkan sampai dengan akhir Desember 2019.
Namun demikian, BKPM mengaku tidak ada payung hukum dalam menentukan kesepakatan harga jual nikel. Menurutnya, kesepakatan yang dibuat dan disetujui bersama-sama dengan pemangku kepentingan jauh lebih efektif ketimbang ketetapan yang sifatnya surat-menyurat. Tetapi, Bahlil tidak menuntut kemungkinan akan mengeluarkan Surat Ketetapan (SK) terkait perdagangan nikel.
Bahlil menyampaikan dalam saat ini tercatat ada 37 perusahaan smelter nikel yang izin membangun smelter. Sementara yang aktif melakukan ekspor ada 9 perusahaan, sementara sisanya tidak menjual nikel ore ke luar negeri.
Baca Juga: Pemerintah memastikan tidak ada larangan ekspor nikel
“Sembilan perusahaan yang melakukan eskpor mempunyai kewenangan dan memenuhi syarat, maka diberikan kesempatan untuk menyelesaikannya,” kata Bahlil di kantornya, Selasa (12/11).
Sementara itu, BKPM telah mengukuhkan ekspor nikel ore akan berhenti per tanggal 1 Januari 2020. Tujuannya adalah guna meningkatkan nilai tambah nikel ore, baik dari pengusaha maupun penambang lewat hilirisasi.
Adapun daftar perusahaan nikel yang dapat melakukan ekspor sampai akhir tahun 2019 antara lain PT Macika Mada Madana, PT Aneka Tambang Tbk, PT Rohul Energi Indonesia, PT Sinar Jaya Sultra Utama, PT Wanatiara Persada, PT Trimegah Bangun Persada, PT Gane Permai Sentosa, PT Tekindo Energi, dan PT Gebe Sentra Nickel.
Baca Juga: Mendag Agus Suparmanto pastikan tidak ada larangan ekspor nikel
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan sampai saat ini kuota produksi nikel mencapai sekitar 7-8 juta ton. Di mana sembilan perusahaan tersebut bisa memanfaatkannya sampai akhir 2019. Namun harapannya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri.
Meidy menambahkan pengusaha sangat mendukung adanya larangan ekspor nikel ore karena dapat mendukung program hilirisasi. Sehingga, industri smelter nikel akan menyerap bahan pokok dari penambang dan bisa meningkatkan harga jual.
Baca Juga: Menko Luhut: Larangan ekspor nikel bagi perusahaan yang tidak melanggar sudah dicabut
Di sisi lain, Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Haykal Hubeis berharap pemerintah terus melanjutkan komitmen dalam mendukung industri smelter nikel dan nikel ore.
“Kami setuju apa yang dilakukan pemerintah dan disepakati bersama, tetapi harus berani komitmen menjalankan kebijakan,” kata Haykal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News