Reporter: Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Saat pemerintah menetapkan target penerimaan pajak selangit di Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 pada Februari lalu, sebagian kalangan industri menjerit. Setoran pajak yang makin tinggi dianggap makin mempersulit posisi industri nasional yang memang sudah terjepit kondisi ekonomi.
Namun apa mau di kata, ketika pemerintah memutuskan untuk menghapus sebagian besar barang mewah yang dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), nyatanya pengusaha tak langsung riuh bertepuk tangan. Kebijakan tersebut dianggap tidak terlalu banyak menolong industri.
Apalagi, pada saat yang hampir bersamaan, barang-barang yang dilepaskan dari kewajiban PPnBM tadi malah terkena kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) impor pasal 22. Sebelumnya, PPh impor yang dibayarkan sebesar 7,5% dari nilai impor, kelak dinaikkan menjadi 10%.
Betul, PPh impor bisa dikreditkan dan mengurangi PPh total yang dibayar pengusaha pada akhir tahun. Tapi, itu sama saja dengan perusahaan mesti menyediakan likuiditas yang lebih besar di permulaan. “PPh 22 itu juga tidak terlalu berpengaruh pada ekonomi, justru hanya memberatkan pengusaha,” tandas Lee Kang Hyun, Vice President PT. Samsung Electronics Indonesia.
Sudah begitu, sebagian barang yang dibebaskan PPnBM-nya, malah tidak berpengaruh sama sekali terhadap industri nasional. Ambil contoh, barang-barang merek ternama (branded goods) yang memang tidak diproduksi di Indonesia. Berdasarkan aturan yang sebelumnya berlaku, barang-barang ini dikenai PPnBM dengan tarif antara 20% hingga 40%.
Pembebasan PPnBM dianggap cuma menguntungkan pedagang jika mereka memasok barang-barang tersebut ke Indonesia. Bagi konsumen, kemungkinan mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah memang terbuka lebar. Namun konsumsi barang-barang lux, seperti tas seharga Rp 5 juta ke atas atau pakaian di atas Rp 6 juta per setel terbatas pada konsumen yang sebetulnya tidak terlalu peduli dengan harga jual barang.
Lantas, bagaimana sebetulnya kondisi sebagian industri yang PPnBM dagangannya dihapus? Berikut ulasannya.
• Elektronika
Penghapusan PPnBM disambut baik pelaku usaha elektronika. Di tengah kondisi ekonomi sulit seperti sekarang, kebijakan ini sedikitnya bisa membantu penjualan produk-produk yang selama ini dianggap mewah.
Sebelumnya, berbagai peralatan elektronik rumah tangga, seperti lemari pendingin, pesawat televisi, air conditioner, dan mesin cuci piring dengan spesifikasi tertentu dikenai PPnBM dengan tarif 20%. Namun dalam aturan terbaru, semua golongan alat elektronik dikeluarkan dari kewajiban membayar PPnBM.
Meski begitu, dampak kebijakan tersebut terhadap industri elektronik secara keseluruhan sangatlah minim. Pasalnya, dibanding dengan produk yang dibuat di Indonesia, porsi barang dagangan impor yang masuk dalam kategori mewah sangat kecil.
PT. Denpoo Mandiri Indonesia, misalnya, memiliki berbagai macam dagangan dengan rentang harga mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 10 juta. Namun, kata Iffan Suryanto, Chief Commercial Officer PT. Denpoo Mandiri Indonesia, mayoritas alat elektronik Denpoo dibanderol antara Rp 1,5 juta sampai 2,5 juta sehingga tidak tergolong barang mewah.
Serupa, Presiden Direktur Midea Indonesia Jino Sugianto menyebut, dari sekian banyak produk yang mereka pasarkan, hanya ada beberapa yang tergolong mewah dan dikenakan PPnBM. Misalnya saja, produk AC inverter yang harganya rata-rata dua kali lipat dari harga AC standar. “Populasi konsumen dari AC inverter ini masih kecil,” ujar Jino.
Lain halnya jika pelonggaran pajak diberikan untuk barang-barang yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat kebanyakan. Bukan apa-apa, pukulan telak akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan merosotnya daya beli masyarakat membuat industri elektronik terkapar.
Denpoo, misalnya, terpaksa menahan ekspansi jaringan distribusi produknya di Indonesia yang saat ini didukung sembilan cabang. “Tadinya mau menambah tiga sampai empat area lagi tahun ini tapi kita tunda karena situasi seperti ini,” ujar Iffan.
Lee meminta pemerintah memberikan insentif yang menarik bagi investor yang masuk ke Indonesia. Pasalnya, di tengah kondisi ekonomi seperti saat ini, investor lebih condong memilih negara tetangga, seperti Vietnam dan Myanmar, sebagai tempat berlabuh modalnya. “Jangan sombong dengan local market saja, tapi malah ada PHK,” kata Lee.
• Keramik
Alih-alih mengatrol kinerja industri dalam negeri, pembebasan PPnBM terhadap produk keramik justru memperbesar keran banjir produk China di pasar lokal. Apalagi saat ini industri di China mengalami kondisi over supply. Vice President Director PT Asri Panca Warna Hendrata Atmoko malah menyebut, banyak pabrik di negeri tirai bambu yang terancam ditutup.
Agar bisa bertahan, mau tidak mau, mereka mengalihkan produknya ke pasar Asia Tenggara. “Yang paling, terbuka pasarnya dan sangat welcome, ya, cuma Indonesia,” urai Hendrata, yang juga Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Industri Keramik Indonesia (ASAKI).
Ambil contoh, untuk produk granit yang kelasnya di atas keramik biasa. Meski PPh impor dinaikkan dari 7,5% menjadi 10%, harga produk China tetap akan jauh lebih murah ketimbang produksi lokal. Pasalnya, pemerintah China memberikan berbagai insentif kepada pengusahanya. “Di sini kena PPh impor sehingga landed cost-nya naik. Tapi di China sana, harga FOB (Free On Board)-nya mereka turunkan. Ya, sama saja, kan,” tambahnya.
Padahal, industri dalam negeri sendiri sudah terjepit kondisi ekonomi domestik yang melambat. Penjualan granit PT Asri Panca Warna, misalnya, pada kuartal I-2015 turun hingga 20% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Kondisi produsen keramik lokal malah jauh lebih mengenaskan. Penurunan penjualannya bahkan mencapai 40%. Beberapa produsen, kata Hendrata, malah sudah merumahkan sebagian karyawannya.
Dewan pembina ASAKI Achmad Widjaya menunjuk pelemahan nilai tukar rupiah sebagai biang keladi kelamnya kondisi industri keramik nasional. Penyebabnya, sekitar 45% bahan baku keramik masih diimpor lantaran tidak tersedia di dalam negeri. “Pemerintah dan Bank Indonesia tidak mampu menjaga nilai tukar rupiah. Padahal, pengusaha menjalankan roda perusahaan terpaksa beli bahan baku impor. Kondisi ini terjadi hampir di semua industri manufaktur,” tandas Achmad.
Oleh karena itu, menurut Achmad, jika ingin menolong industri lokal, pemerintah sebaiknya meredam gejolak nilai tukar rupiah. Selain juga melindungi pasar dalam negeri dengan berbagai kebijakan lintas sektoral. Sebagai contoh, mewajibkan penggunaan produk lokal untuk proyek milik pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk keramik dan granit produksi nasional.
Kebijakan semacam ini dinilai jauh lebih efektif ketimbang membebaskan PPnBM dan menaikkan PPh impor produk jadi. “Kami nggak minta proteksi, cuma minta support. Masak anak tetangga dikasih jalan, tapi anak sendiri enggak,” pungkas Hendrata.
• Peralatan musik dan olahraga
Produsen alat musik seperti gitar elektrik juga tidak terpengaruh dengan pemangkasan PPnBM. Pemilik Radix Guitars Indonesia Toien Bernadhie Radix, menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah jauh lebih berpengaruh buat bisnisnya. Pasalnya, semua sparepart yang dibutuhkan harus diimpor.
Tapi, Toien tak bisa langsung menaikkan harga jual. Sebab, Radix bisa kalah bersaing dengan produk dari luar. Untungnya, rugi kurs bisa sedikit ditutupi oleh ekspor gitar Radix ke beberapa negara Eropa, seperti Finlandia, Swedia, Swiss, Norwegia, Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris. Cuma, saat ini mayoritas penjualan Radix masih di pasar lokal.
Pembebasan PPnBM malah berpotensi membuat gitar produksi luar makin merangsek ke pasar domestik. “Menara gading gitar itu Amerika. Setiap orang pasti ingin merek made in USA,” ujar Toien.
Senada, pembebasan PPnBM terhadap peralatan olahraga golf dan menyelam yang sebelumnya dikenai tarif 20%-40% juga lebih membuka peluang bagi pedagang ketimbang pelaku industri. Pasalnya, memang hampir tak ada produsen di dalam negeri.
Untuk perlengkapan golf misalnya, belum ada produksi tongkat golf lokal sampai saat ini. Birdie Indonesia, yang tercatat sebagai pemain di industri perlengkapan golf, baru sebatas memproduksi apparel berupa kaos untuk pemain golf. Produk Birdie sendiri selama ini memang tidak dikenai PPnBM.
Romdoni, pemilik Birdie Indonesia, bilang, sebelumnya mereka pernah memasarkan tongkat golf buatan Jepang. Namun lantaran harganya tidak kompetitif, kerjasama yang digelar tahun lalu itu hanya berjalan selama enam bulan.
Pemasaran tas golf buatan lokal yang awalnya dikenai PPnBM juga pernah dilakoni. Namun penjualan dihentikan lantaran sulit bersaing dengan produk luar. “Dengan penghapusan PPnBM harganya jadi menarik. Kami akan coba lagi memasarkan golf bag lokal,” ujar Romdoni.
Akankah kelonggaran PPnBM mubazir?
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 39-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News