kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

pembangunan smelter berjalan lambat


Selasa, 16 Juli 2013 / 09:11 WIB
pembangunan smelter berjalan lambat
ILUSTRASI. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, Kurikulum Merdeka akan memberikan otonomi dan kemerdekaan bagi siswa dan sekolah. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Tahun 2014 sudah di depan mata, artinya industri pengolahan mineral dan batubara (mineral) harus sudah jalan. Namun, catatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, sejauh ini belum terlihat realisasi pembangunan smelter. Kadin khawatir, tanpa katalisator pembangunan smelter, target industri pengolahan minerba 2014 meleset sehingga pengusaha harus terus mengimpor hasil smelter untuk bahan baku industri hilir.

Mengingatkan saja, Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara, mewajibkan pengusaha mengolah hasil tambang sebelum menjual ke luar negeri. Kewajiba pendirian smelter itu berlaku paling lambat 5 tahun setelah UU berlaku, atau pada 2014. "Tapi sejauh ini, pembangunan smelter berjalan lambat," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Industri, Riset dan Teknologi, Bambang Sujagad, Senin (15/7).

Oleh karena itu, dengan sisa waktu yang kurang dari enam bulan lagi, belum tentu smelter-smelter bisa berdiri. Padahal, pengusaha domestik sangat menantikan smelter karen produknya menjadi bahan baku untuk industri hilir. Mengingat, selama ini 80% bahan baku industri hilir tersebut harus membeli dari luar negeri. Kalau industri smelter terbentuk, ketergantungan impor bahan baku untuk industri hilir bisa dikurangi.

Menurut Kadin, belum munculnya smelter tidak hanya kesalahan pengusaha tambang. Pemerintah juga harus bertanggung jawab karena tidak menyediakan sarana pendukung yang memadai.

Setiap smelter butuh ketersediaan listrik 50 megawatt (MW). Kalau pengusaha mau menyediakan listrik sendiri, butuh dana investasi US$ 300 juta-US$ 500 juta. "Kalau pemerintah tak sanggup menyediakan listrik bisa ditawarkan kepada swasta," ungkap Bambang.

Bambang mengusulkan, pemerintah membentuk Tim Task Force khusus untuk mempercepat pembangunan smelter. Tim ini diisi perwakilan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan perwakilan kalangan pengusaha. "Tim tidak hanya berpegang pada UU tetapi juga turun ke lapangan, dan membantu kesulitan para pengusaha seperti mempercepat terbitnya Amdal dan sebagainya," ujarnya.

Pemerintah daerah juga harus turun untuk mengumpulkan para penambang-penambang kecil yang nantinya memasok bahan baku ke smelter. Mengingat, idealnya per smelter mendapat pasakan bahan bakau 100.000 ton per bulan.

Tujuh smelter

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Dede Ida Suhendra, optimistis, industri smelter terbentuk tahun 2014. Tahun ini akan ada tujuh smelter yang berproduksi. Itu antara lain milik PT Bintang Delapan dan PT Aneka Tambang (nikel), PT Sebuku Iron Lateritic Ores (Silo), dan PT Meratus Jaya Iron and Steel. "24 pabrik smelter mineral juga akan dibangun tahun 2014 dari 298 proposal pengajuan yang diterima Kementerian ESDM," tambah Dede.

Menurut Dede, pemerintah sudah membentuk Tim Khusus yang diketuai Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM untuk mempercepat pembangunan Smelter. Tim ini bertugas mengevaluasi dan mengecek keseriusan pengusaha membangun smelter. "Akan di cek feasibility study (FS) dan Amdalnya benar atau tidak, jangan sampai hanya bohong-bohongan saja," ujarnya.

Dede menegaskan, investor yang membangun smelter memperoleh insentif dari pemerintah. Insentif itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah Tertentu. Bentuknya seperti tax holiday untuk pembangunan smelter di luar Jawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×