Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Potensi penurunan suku bunga acuan Federal Reserve (The Fed) dinilai akan mendorong arus modal masuk ke negara-negara berkembang dengan imbal hasil lebih tinggi, termasuk Indonesia.
Analis Keuangan Finex, Brahmantya Himawan mengatakan bahwa kebijakan suku bunga yang lebih longgar dari The Fed akan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sekaligus meningkatkan daya tarik obligasi pemerintah dan instrumen investasi lokal lainnya.
Baca Juga: Trump Desak The Fed Turunkan Suku Bunga Besar-besaran, Ini Alasannya
“Dalam konteks global, penurunan suku bunga AS cenderung meningkatkan likuiditas dan mendorong pergeseran portofolio investor. Ini bisa membuka ruang penguatan rupiah dan menciptakan peluang baru bagi pelaku pasar di Indonesia,” ujar Brahmantya dalam keterangan tertulis, Kamis (12/6).
Sebagaimana diketahui, arah kebijakan moneter Amerika Serikat kembali menjadi sorotan, terutama setelah Presiden Donald Trump secara terbuka mendesak The Fed untuk memangkas suku bunga acuan.
Meski demikian, Ketua The Fed Jerome Powell masih bersikap hati-hati dan menegaskan bahwa keputusan kebijakan akan tetap bergantung pada data inflasi dan ketenagakerjaan.
Walaupun peluang pemangkasan suku bunga pada pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee) 18 Juni 2025 dipandang masih kecil, pasar mulai mengantisipasi kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter pada paruh kedua tahun ini.
Baca Juga: Trump: Ketua The Fed Jerome Powell Harus Menurunkan Suku Bunga
Menurut Brahmantya, jika skenario tersebut terjadi, dampaknya tidak hanya terbatas pada ekonomi AS, tetapi juga akan berimbas ke negara berkembang seperti Indonesia.
Ia menambahkan, pengaruh suku bunga terhadap pasar keuangan bersifat kompleks. Kebijakan ini tak hanya memengaruhi nilai tukar, tetapi juga berdampak pada harga komoditas, pasar saham global, hingga pergerakan pasangan mata uang utama.
Beberapa instrumen yang diperkirakan akan terdampak antara lain indeks saham AS seperti NASDAQ dan S&P 500, serta pasangan mata uang seperti EUR/USD, AUD/USD, dan GBP/USD.
Keputusan investor, lanjut Brahmantya, sangat dipengaruhi oleh berbagai indikator fundamental seperti indeks harga konsumen (CPI), indeks harga produsen (PPI), data tenaga kerja seperti non-farm payroll (NFP) dan tingkat pengangguran, serta indikator pertumbuhan ekonomi dan konsumsi seperti penjualan ritel, indeks manufaktur PMI, dan pertumbuhan PDB.
Baca Juga: Menkeu Ingatkan Pergeseran Arus Modal Berpotensi Membuat Negara Berkembang Tertekan
“Memahami keseluruhan konteks makroekonomi sangat penting agar investor dan trader dapat mengambil keputusan rasional, bukan sekadar bereaksi emosional terhadap gejolak sesaat di pasar global,” jelasnya.
Brahmantya juga menekankan pentingnya edukasi ekonomi bagi pelaku pasar agar tidak hanya mengikuti tren, tetapi mampu menyusun strategi investasi yang lebih matang dan terukur.
“Banyak yang hanya melihat suku bunga dari sisi pinjaman atau investasi, padahal efek dominonya sangat luas. Reaksi pasar bisa sangat dinamis, terutama jika disertai kejutan data ekonomi atau tekanan geopolitik,” pungkasnya.
Selanjutnya: Dana Investor Masuk Rp 16,32 T, Ini Cara Pemesanan Sukuk Ritel SR022 Kupon 6,55%
Menarik Dibaca: 7 Drakor Underrated Terbaru yang Kurang Diminati meski Ceritanya Bagus
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News