Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 10.000 Megawatt (MW) milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih tersandung. Hingga kini, Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral China belum menerbitkan peraturan soal pemakaian yuan alias renminbi (RMB) dalam pembiayaan megaproyek itu.
Rencananya, dalam proyek PLTU 10.000 MW Tahap I, renminbi akan dipakai untuk dua tujuan. Pertama, pemberian pinjaman dari perbankan China kepada PLN. Kedua, transaksi impor barang dari China. "Pemakaian renminbi dalam proyek PLN masih harus disesuaikan dengan prosedur yang berlaku," kata Wakil Direktur Utama PLN, Rudiantara, Senin (13/7).
Sebenarnya, masalah pembiayaan transaksi impor sudah tidak ada persoalan. Kedua Bank Sentral telah sepakat membolehkan PLN memakai mata uang rakyat China itu.
Masalahnya justru ada pada pemberian kredit dari bank di China, terutama menyangkut jangka waktu (tenor) pinjaman. Rudiantara bilang, perjanjian utang memakai renminbi biasanya memiliki tenor antara 30-40 bulan atau paling lama lima tahun. Padahal, pembiayaan PLN membutuhkan waktu hingga 15 tahun. Kini, soal ini masih dibahas kedua belah pihak.
Usulan pemakaian renminbi dalam Proyek PLTU 10.000 MW pertama kali meluncur dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, April lalu. Kala itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa pendanaan proyek listrik 10.000 MW membebani neraca keuangan PLN.
Maklum saja, 85% pembiayaan proyek ini memakai utang, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing terutama dolar Amerika Serikat (AS). Artinya, hanya 15% saja dana yang berasal dari kas internal perusahaan.
Padahal, Pemerintah sebagai pemegang saham menjadi penjamin seluruh utang perusahaan pelat merah itu. Nah, pemilihan renminbi sebagai mata uang pilihan dalam proyek 10.000 MW juga dilakukan untuk menekan risiko kerugian akibat kondisi dolar AS yang kerap gonjang-ganjing.
Untuk mewujudkan hal itu, Sri Mulyani menyarankan agar PLN menukar pinjaman investasi berdenominasi dolar AS dengan renminbi. Caranya, PLN bisa memakai fasilitas pertukaran mata uang alias bilateral currency swap arrangement (BCSA) senilai 100 miliar RMB atau Rp 175 triliun yang telah diteken kedua negara sebelumnya.
Bak gayung bersambut, permintaan Sri Mulyani ini ternyata mendapat respon positif dari kontraktor China yang akan menjadi mitra PLN. Mereka juga sepakat jika PLN memakai renminbi dalam pencarian kredit bank di China dan pembayaran transaksi impor barang modal dari Negeri Panda itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News