Reporter: Herlina KD | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Memasuki tahun 2013 nilai tukar rupiah terus merosot. Data kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan per Selasa (8/1) nilai tukar rupiah merosot ke Rp 9.740 per dollar AS. Meski begitu, pemerintah tak terlalu risau dengan penurunan ini. Pasalnya, pelemahan nilai tukar mampu mendorong kinerja ekspor.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan pemerintah bersama Bank Indonesia terus mencermati pergerakan nilai tukar rupiah. Namun, ia bilang pelemahan nilai tukar yang terjadi saat ini belum berdampak pada asumsi. Menurutnya, "Kami akan melihat rata-rata nilai tukar dalam satu tahun," ujarnya Selasa (8/1).
Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah di kisaran Rp 9.500 - Rp 9.700 per dollar AS justru berdampak positif terhadap kinerja ekspor dan impor bulanan (month to month). Agus bilang, pelemahan nilai tukar rupiah mampu menahan laju impor. Di sisi lain, kinerja ekspor meningkat karena eksportir bisa lebih kompetitif.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor November 2012 sebesar US$ 16,44 miliar atau naik 7,3% ketimbang ekspor Oktober 2012 yang sebesar US$ 15,32 miliar. Sementara itu, impor November 2012 sebesar US$ 16,92 miliar atau turun 1,67% dibanding impor Oktober 2012 yang sebesar US$ 17,21 miliar.
Seperti diketahui, realisasi nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2012 adalah sebesar Rp 9.384 per dollar AS. Artinya, selama 2012 nilai tukar rupiah terdepresiasi 6,9% ketimbang rata-rata nilai tukar tahun 2011 sebesar Rp 8.779 per dollar AS.
Per 4 Januari 2013 nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.788 per dollar AS. Padahal, dalam APBN 2013 pemerintah mematok asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.300 per dollar AS.
Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menjelaskan nilai tukar rupiah harus mencerminkan kondisi fundamental. "Kalau sekarang rupiah melemah, itu bisa sedikit membantu ekspor dan bisa sedikit menahan impor," katanya beberapa waktu lalu.
Yang jelas, kata Bambang nilai mata uang harus dijaga stabil pada kisaran yang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi. Apalagi, dalam kondisi neraca transaksi berjalan mengalami defisit, akan lebih baik jika rupiah terjaga stabil di kisaran yang tidak terlalu kuat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News