kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pelaku UKM menolak rencana pajak baru


Jumat, 22 Juli 2011 / 09:18 WIB
Pelaku UKM menolak rencana pajak baru
Aktris Kim Sae Ron memutuskan keluar dari drama Korea terbaru Dear. M.


Reporter: Ragil Nugroho, Bambang Rakhmanto | Editor: Edy Can

JAKARTA. Berbagai reaksi negatif dilontarkan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) atas rencana pemerintah mengenakan pajak penghasilan (PPh) 3%-5% dari omzet per tahun.

Dengan margin usaha yang tak begitu besar, di bawah 30% dari omzet, pemberlakuan rencana tersebut akan sangat memberatkan. "Ketika dihitung dari omzet per tahun akan semakin menguras kantong," kata Syammahfuz Chazali, pemilik Faerumnesia 7G. Faerumnesia adalah UKM yang bergerak dalam pembuatan gerabah, kerajinan tangan, dan batu bata.

Syammahfuz mengaku memperoleh margin 20%-30% dari omzet antara Rp 1,2 miliar per tahun. Sehingga, walau persentase pungutan pajak lebih kecil dibanding aturan lama yang sebesar 12,5% dari laba, tetap memberatkan.

Menurutnya, ketentuan ini tidak hanya memberatkan bisnisnya, namun juga UKM-UKM lain yang bergerak di bidang makanan, usaha konveksi, dan usaha lain. Karena itu, ia meminta pemerintah berfikir ulang untuk menerapkan ketentuan itu ke UKM.

Ia mengatakan, jika ketentuan itu benar-benar berjalan, maka pengusaha UKM perlu menaikkan harga jual meski ancaman penurunan omzet di depan mata.

Aswan Nasser, pemilik La Vindhy, UKM produsen perlengkapan bayi di Bandung juga mengeluhkan hal serupa. "Seharusnya pemerintah juga melihat sektor usahanya, jangan pukul rata," ujarnya.

Dengan omzet Rp 3 miliar sampai Rp 4 miliar per tahun, memang Aswan bisa meraup margin usaha sebesar 10%-20%. Masalahnya, menurut Aswan, sering ada ketidaksesuaian besaran omzet yang dilaporkan dengan kenyataan. Hal ini terjadi karena pihak bank mensyaratkan omzet yang besar untuk bisa mendapatkan kredit usaha. "Bank sering mendorong pengusaha memperbesar omzet dalam laporan," katanya.

Arief Ringgawo, pemilik warung makan Kupat Tahu Magelang juga setuju kalau ketentuan pajak baru itu akan membebani usahanya. Sebab, pengusaha UKM tak hanya dibebani dengan pajak penghasilan. Pelaku UKM makanan juga harus membayar pajak penjualan (PPn) yang sebesar 10%. Dia mengusulkan, "Sebaiknya benahi dulu internal pajak," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×