Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencananya, mulai tanggal 1 April 2018, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan memberlakukan kebijakan Pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak memiliki NPWP untuk memberikan informasi atau identitasnya.
Namun demikian, belum ada kabar lagi soal perkembangan dari pemberlakuan aturan ini. Aturan itu semestinya sudah berlaku sejak Desember 2017, tetapi atas alasan Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum siap untuk menyesuaikan administrasi dalam pembuatan dan pelaporan faktur pajak, Ditjen Pajak mengeluarkan Perdirjen No. 31 tahun 2017 yang menunda pelaksanaannya jadi April.
Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Prijo Handojo mengatakan, banyak yang masih khawatir informasi atau identitasnya disalahgunakan, terlebih NIK.
Sebab, dalam e-faktur akan ada kewajiban bagi PKP harus meminta NIK atau nomor paspor pembeli yang tidak memiliki NPWP supaya bisa dipantau siapa pembelinya. “Sepertinya, masyarakat belum paham dan perlu sosialisasi,” kata Prijo kepada Kontan.co.id, Selasa (20/3).
Prijo mengatakan, kalau sudah paham, seharusnya tidak perlu ada kegaduhan lagi di kalangan dunia usaha.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Herman Juwono mengatakan, memang di sektor bisnis menengah masih ada masalah bagi fiskus, yakni WP belum mau terbuka dan memang belum patuh bayar pajak.
Namun, apabila sosialisasi belum optimal hingga kini, dikhawatirkan akan tersendat-sendat pelaksanaannya. “Di lapangan masih belum siap. Masih membutuhkan waktu,” ujarnya kepada Kontan.co.id.
Pakar pajak dan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, sebaiknya implementasi aturan ini ditunda dulu. Sebab, belum ada persiapan dan kesiapan.
“Biar sistem nanti yang bekerja. Problem kalau diwajibkan seperti ini dan ada yang tidak comply, justru akan merugikan PKP yang comply. Karena pembeli akan cari PKP yang tidak minta NPWP,” kata dia.
Sementara, menurut Prijo, sejauh sosialisasi dilakukan dengan intensif, peraturan ini bisa diterima masyarakat dan tidak perlu ditunda lagi.
“Jadi ditunda atau tidak tergantung dari seberapa intensifnya dan efektifnya sosialisasi,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News