kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

PDIP: Gagas pelayanan kesehatan tanpa batas kelas


Rabu, 05 Februari 2014 / 16:04 WIB
PDIP: Gagas pelayanan kesehatan tanpa batas kelas
ILUSTRASI. Kunyit, rempah yang efektif menurunkan asam urat tinggi.


Reporter: Yudho Winarto, Asep Munazat Zatnika | Editor: Tri Adi

JAKARTA. Partai berlambang kepala banteng dengan moncong putih ini mengklaim sebagai penggagas adanya sistem jaminan sosial. Pasalnya, Undang-Undang No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) lahir pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tujuh tahun kemudian setelah pengesahan UU SJSN tersebut, lahir Undang-Undang No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Yang pasti, Megawati sudah lengser dari kursi presiden sebelum sempat mengimplementasikan program jaminan sosial ini. Meski demikian, partai politik nomor urut keempat peserta pemilihan umum (pemilu) 2014, mengklaim terus ngotot untuk memperjuangkan program SJSN. "Kami di Fraksi PDI Perjuangan terus meyakinkan dan melobi pemerintah bahwa kebijakan ini tidak membebani keuangan negara," kata Hendrawan Supratikno, politisi senior PDI Perjuangan.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan melihat pemerintah sekarang belum siap menjalankan program jaminan sosial. Walau masih terlampau dini untuk menilai pelaksanaannya, PDI Perjuangan manyatakan masih banyak catatan dan pekerjaan rumah atas implementasi program jaminan sosial.

Anggota Komisi IX Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka menyebut ada empat kekurangan implementasi BPJS saat ini. Pertama, pemerintah harus segera menerbitkan semua aturan, baik peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres), maupun keputusan presiden (Kepres) terkait dengan pelaksanaan BPJS Kesehatan. Tujuannya agar program ini bisa segera tersosialisasi dan menjadi pegangan semua pemangku kepentingan program ini.

Kedua, anggaran kesehatan bagi rakyat miskin dan warga tidak mampu dalam sistem jaminan sosial ini harus sepenuhnya ditanggung APBN. "Tidak boleh dibebankan sebagian pada APBD," ungkapnya.

Ketiga, sesuai dengan perintah UU BPJS seharusnya PT Askes dan PT Jamsostek sudah diaudit sebelum 1 Januari 2014. Namun kenyataanya sampai saat ini belum proses audit belum juga selesai.

Keempat, Rieke mempersoalkan penjualan PT Inhealth, anak usaha PT Askes. Sebab, Inhealth yang sebenarnya didirikan dari dana peserta. "Anak usaha ini dijual pada akhir Desember 2013," katanya.

Selain itu, PDI Perjuangan meragukan kesiapan pemerintah dalam pengadaan infrastruktur kesehatan BPJS. Dalam catatan PDIP fasilitas tempat tidur bagi pasien pengguna BPJS, masih kurang 122.000 dengan rasio 1:1.000. Lalu, tenaga dokter kekurangan 3.706 tenaga, defisit perawat sebesar 9.505 dan bidan mencapai 5.484 personel.

Dari sekian catatan itu, PDI Perjuangan memutuskan untuk lebih ketat melakukan pengawasan dengan membuka posko pengaduan di sejumlah daerah. Tujuannya adalah menampung keluhan masyarakat yang berkaitan dengan program ini. Ke depan, PDI Perjuangan berjanji memperjuangkan berdirinya rumah sakit tanpa kelas (RSTK). "Orang dirawat karena sakit, bukan kaya atau miskin," kata Rieke.

PDI Perjuangan sendiri sudah mengawali dengan membangun RSTK Pelita Rakyat di Anyer, Banten pada tahun 2010. Kini, konsep RSTK ini pun sudah masuk jualan partai untuk pemilu mendatang. Sesuai dengan misi partai pemenuhan hak kesehatan rakyat tanpa diskriminasi.

Rumah sakit tanpa kelas sulit terwujud

JAKARTA. Program PDI Perjuangan yang ingin membuat rumah sakit tanpa kelas dipandang sebagai program yang sulit terwujud. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, sistem pelayanan kesehatan yang ditawarkan PDI Perjuangan ini akan bertolak belakang dengan kondisi saat ini.

Menurut Agus, alih-alih memberikan rasa adil bagi masyarakat, program ini justru tidak mencerminkan keadilan. Sebab, tidak semua orang memiliki kemampuan ekonomi yang sama. Bagi masyarakat yang lebih mampu, tentu berhak untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang berlebih nyaman. Selain itu, program ini akan mendapatkan hambatan dari perkembangan industri kesehatan. "Akan banyak rumah sakit kelas atas yang tutup, karena tidak laku," ujarnya.

Sebenarnya yang lebih penting adalah bukan menurunkan standar pelayanan kesehatan untuk kelas atas, tetapi memperbaiki pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Selama ini, permasalahan di bidang kesehatan adalah soal akses masyarakat miskin terhadap fasilitas kesehatan yang layak.  Permasalahan ini sudah terjawab sekarang dengan keberadaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sebab, dengan SJSN kebutuhan akses kesehatan yang layak bagi masyarakat miskin bisa terwujud.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Dinna Wisnu berpendapat program PDI Perjuangan ini hanya sebatas pencitraan semata. Sebab, dari segi konsep pelaksanaan masih belum cukup kuat. Selain itu, rencana kebijakan partai berlambang kepala banteng itu juga tidak substansi, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Sebab program yang ditawarkan belum sepenuhnya teruji. Selain itu masih butuh kajian yang lebih mendalam. Terlebih isu kesehatan terbilang cukup seksi untuk dilemparkan ke masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×