kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

PBB daerah rendah, CITA: Banyak potensi penerimaan tidak terpotret


Selasa, 08 Oktober 2019 / 18:49 WIB
PBB daerah rendah, CITA: Banyak potensi penerimaan tidak terpotret
ILUSTRASI. Pekerja beraktivitas pada pembangunan gedung di Jakarta


Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan perpajakan di daerah dinilai belum optimal, terutama penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan (P2). Sejak hak pemungutan jenis pajak ini beralih ke pemerintah daerah, belum banyak yang mampu mengumpulkan penerimaan dengan maksimal. 

Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memandang, potensi penerimaan PBB P2 sejatinya masih besar lantaran masih banyak aset di berbagai daerah yang belum tervaluasi atau tidak tervaluasi dengan tepat. “Jadi ada kebocoran administrasi karena objek-objek yang potensial tidak ter-capture,” tutur Prastowo kepada Kontan.co.id, Selasa (8/10). 

Lain cerita dengan kebanyakan negara maju. Menurut Prastowo, pengenaan pajak properti negara maju fokus pada valuasi dan hasil utilisasi aset. Itu sebabnya dia tak sepakat jika Bank Dunia membandingkan penerimaan PBB Indonesia dengan negara-negara G20 yang memiliki basis perhitungan pajak berbeda. Di sisi lain, konsep perhitungan pajak di luar negeri memang lebih adil lantaran semakin tinggi nilai ekonomi suatu aset, maka semakin besar pula tarif pajaknya. 

Baca Juga: Tren penerimaan pajak bumi dan bangunan kian melambat, ini sebabnya

Pengalihan hak pemungutan pajak dari pusat ke daerah, lanjut dia, tak membuat penerimaan PBB P2 meningkat secara signifikan. Sebaliknya, ia menganggap pemungutan PBB P2 di tingkat pusat cenderung memiliki standar yang lebih jelas dan tersentralisasi dibandingkan saat ini. 

Prastowo menjelaskan, hal ini terjadi akibat transfer pengetahuan dan kapasitas tidak berjalan beriringan dengan adanya transfer kewenangan dari pusat ke pemerintah daerah saat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan.

Dia menilai, kemampuan dan kreativitas pemda dalam mengumpulkan penerimaan PBB dan mengelolanya belum benar-benar memadai. Jika ingin menerapkan konsep valuasi misalnya, pemda umumnya tidak memiliki kompetensi tenaga penilai yang andal. Belum lagi lingkup geografi yang luas membuat upaya valuasi semakin sulit. 

“Ini jadi tanggung jawab pusat juga untuk mengadvokasi pemda. Kalau kapasitas pemda bisa improve, pemerintah pusat juga yang akan diuntungkan karena daerah tidak lagi begitu bergantung pada dana transfer pusat,” terang Prastowo. 

Baca Juga: Memilih antara mengontrak rumah atau mencicil rumah

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Perimbangan Keuangan terus melakukan pembinaan kepada para pemda. Baik itu terkait pengelolaan transfer fiskal ke daerah, maupun terkait pengumpulan pajak daerah. 

Namun, Direktur Potensi, Kepatuhan, Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan, potensi penerimaan PBB P2 kini menjadi bagian dari kebijakan pemda sepenuhnya. “Pertimbangan untuk mengenakan PBB, termasuk besaran NJOP-nya dan sebagainya, sepenuhnya menjadi policy pemda dengan pertimbangan sendiri-sendiri saat ini,” tutur Yon kepada Kontan.co.id.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×