Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah indikator perekonomian Amerika Serikat (AS) mulai menunjukkan perbaikan. Data inflasi misalnya, secara tahunan masih stagnan, yakni tumbuh sebesar 5,4% di Juli 2021, sedangkan secara bulanan naik 0,5% dari 0,9% di bulan sebelumnya.
Analis Erdikha Elit Sekuritas Hendri Widiantoro mengatakan, secara tahunan memang angka inflasi AS ini cenderung tinggi, karena memang kondisi saat ini dan tahun lalu cukup berbeda. Di periode yang sama tahun lalu, laju pertumbuhan ekonomi AS cenderung terhambat karena adanya penyebaran kasus Covid-19 yang cukup masif. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh Negeri Adidaya tersebut, sejumlah negara lainpun mengalami kondisi serupa.
Pada tahun 2021, dimulai pada bulan Februari, angka inflasi AS mulai meningkat signifikan secara year-on-year (YoY) hingga menyentuh level saat ini 5,4%. Berdasarkan data inflasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dampak dari pandemi yang dirasakan oleh AS cenderung berkurang, sehingga mobilitas dan konsumsi masyarakat yang sebelumnya sempat terhambat saat ini sudah mulai pulih.
Meskipun dari sisi inflasi bisa dikatakan sudah mengalami pemulihan, namun data ketenagakerjaan AS, yang menjadi indikator lain bagi The Fed (Bank Sentral AS) dalam menentukan kebijakannya, masih cenderung belum stabil. Kondisi secara global pun masih sama, masih belum cukup stabil dan masih belum memungkinkan bagi The Fed melakukan kebijakan tapering pada tahun ini.
Baca Juga: Harga emas bertahan di atas US$1.750, potensi awal tapering The Fed surut
The Fed juga memproyeksikan kebijakan moneter baru akan diterapkan pada tahun 2022 -2023. “Meskipun menurut kami, jika melihat data ekonomi AS saat ini ada potensi bagi The Fed untuk melakukan perubahan kebijakan moneter tersebut lebih cepat sebelum tahun 2022 berakhir, tetapi kebijakan tersebut tidak dilakukan pada tahun ini,” terang Hendri kepada Kontan.co.id, Minggu (15/8).
Ekonom Maybank Kim Eng Sekuritas Lee Ju Ye memperkirakan The Fed akan melakukan kebijakan tapering off secara bertahap pada awal tahun 2022, dan mulai menaikkan suku bunga pada tahun 2023. Namun, The Fed dapat memilih mengetatkan kebijakan moneternya lebih awal dari yang diperkirakan jika data inflasi melonjak dan tidak berlangsung lama.
Kaya Ju Ye, kebijakan pengetatan The Fed yang prematur dapat menambah tekanan terhadap pasar negara berkembang. Namun, Indonesia dinilai berada dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan kondisi taper tantrum pada 2013.
“Mengingat neraca transaksi berjalan yang lebih sehat, cadangan devisa yang lebih besar, inflasi yang lebih rendah, dan aliran masuk modal asing yang terbatas selama setahun terakhir,” terang Ju Ye kepada Kontan.co.id, Minggu (15/8).
Meski nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sekitar 3% secara YoY, mata uang Garuda dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan peers-nya di kawasan ASEAN.
Dengan skenario dasar (base case), Ju Ye memperkirakan, Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan kebijakan suku bunganya selama sisa tahun 2021 guna mendukung perekonomian. Kemungkinan, BI baru akan mulai mengetatkan kebijakan moneter pada kuartal keempat 2022 dengan kenaikan 25 basis poin jika pemulihan ekonomi mulai menguat dan inflasi kembali naik.
Senada, Hendri mengemukakan, dengan melihat kondisi domestik saat ini, belum akan ada perubahan terkait kebijakan suku bunga acuan pada rapat dewan gubernur (RDG) BI pekan depan.
Hal ini dengan menimbang kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang masih berlangsung hingga 16 Agustus 2021. Kasus Covid-19 juga masih di atas 20.000 kasus per hari.
Jika kebijakan PPKM level 4 nanti tidak diperpanjang, Hendri menilai, potensi BI melakukan perubahan kebijakan moneter masih sangat kecil.
Sebab, aktivitas masyarakat belum sepenuhnya normal setelah adanya kebijakan PPKM level 4 ini, sehingga sangat berisiko apabila BI melakukan perubahan kebijakan menoternya.
Hendri menilai, Indonesia justru masih membutuhkan suku bunga yang rendah seperti saat ini guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang sempat kembali terhambat pemulihannya karena adanya kenaikan kasus dari Juni hingga Agustus. “Potensi BI menurunkan suku bunga juga tidak mungkin, sehingga proyeksi kami BI masih akan menahan suku bunga di level yang sama, yakni 3,5%,” ujar dia.
Selanjutnya: Minim sentimen, rupiah berpeluang konsolidasi pada perdagangan Senin (16/8)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News