Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Anna Suci Perwitasari
AKARTA. Rencana Direktorat Jenderal Pajak memeriksa kepatuhan perusahaan properti tak bisa berjalan mulus. Keinginan menggelar pemeriksaan serempak diseluruh Indonesia batal, karena tak semua kantor wilayah pajak sanggup melakukannya.
Direktur Jenderal Pajak berniat memeriksa transaksi perusahaan properti dengan para nasabahnya. Targetnya pemeriksaan ini akan secara serempak di bulan Juli ini.
Kantor pajak ingin memastikan apakah perusahaan properti tersebut telah melakukan pemotongan pajak Pajak Penghasilan (PPh) final 5% dari nilai transaksi properti. Kantor pajak mensinyalir banyak perusahaan properti hanya memotong PPh final 5% dari nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal biasanya nilai NJOP jauh lebih rendah ketimbang transaksi riilnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kismantoro Petrus menjelaskan, pemeriksaan baru bisa dilakukan di beberapa wilayah saja. "Ada yang sudah kami mulai," ujarnya pekan lalu.
Ia menjelaskan, di beberapa wilayah pelaksanaan pemeriksaan molor karena Kanwil belum siap. Sebab Kanwil perlu pengumpulan data wajib pajak badan di sektor properti, lalu menganalisa terlebih dulu, baru kemudian melihat potensi penerimaan pajak.
Yang jelas, semakin besar potensi pajak properti di wilayah tersebut, semakin mudah mengumpulkan data dan memudahkan untuk langsung melakukan pemeriksaan. Misalnya wilayah Jakarta, Bali dan Surabaya. Wilayah ini juga yang akan menjadi fokus pemeriksaan kantor pajak. Pajak melihat industri properti di tiga wilayah ini tengah booming. Di tiga wilayah ini yang tercatat banyak mencetak transaksi penjualan.
Dalam pemerisaan ini Kantor Pajak akan membuka kembali Surat Pemberitahuan pajak tahunan (SPT) tiap perusahaan tersebut. Pajak ingin memastikan apakah mereka melakukan kesalahan dalam perhitungan (PPh) final 5% saat bertransaksi.
Selama ini kebanyakan perusahaan properti menggunakan dasar penghitungan PPh berdasarkan NJOP dari tanah dan bangun. Padahal, berdasarkan aturan PPh final pasal 4 ayat 2, pajak final dikenakan dari nilai tertinggi. Nah disinilah kantor pajak akan meminta mereka untuk membayar sesuai nilai yang lebih tinggi.
Ditjen pajak mengendus modus ini sengaja dilakukan perusahaan properti. Fakta ini tecermin setelah pajak memeriksa data Real Estate Indonesia (REI). Berdasarkan data penjualan REI ternyata jauh lebih tinggi ketimbang data yang diterima pajak.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo pun menilai potensi terbesar ada di wilayah seperti Jakarta, Bali, Surabaya, Bandung dan Batam. "Secara nilai penjualan properti di wilayah tersebut sudah lebih dari 50% dari total di Indonesia," jelasnya.
Daerah lain yang menurut dia juga memiliki potensi penerimaan pajak yang besar adalah Balikpapan. Menurut Eddy di wilayah tersebut, properti tengah tumbuh pesat.
Dalam perkiraan kantor pajak potensi intensifikasi dari perusahaan properti ini bisa mengeruk penerimaan pajak sekitar Rp 40 triliunan. Tapi upaya menagih kekurangan pajak ini tentu tidak mudah, dan perlu kerja keras.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News