kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Ombudsman Minta KLHK Tunda Batas Persyaratan Izin Pengusaha Sawit di Kawasan Hutan


Jumat, 03 November 2023 / 06:31 WIB
Ombudsman Minta KLHK Tunda Batas Persyaratan Izin Pengusaha Sawit di Kawasan Hutan
ILUSTRASI. Perkebunan sawit


Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - ​JAKARTA. Ombudsman RI mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan meminta agar menunda batas self reporting lahan sawit yang masuk di kawasan hutan yang berakhir pada Kamis (2/11).  

Sebab, kebijakan tersebut berpotensi maladministrasi, mengingat masih banyaknya permasalahan terkait status kawasan hutan.

"Ombudsman menyarankan agar Menteri LHK mengeluaran diskresi untuk menunda batas akhir tersebut, dengan berbagai pertimbangan," kata Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam keterangannya.

Baca Juga: Kata Pakar Soal SK Datin KLHK Terkait Kegiatan Usaha di Kawasan Hutan

Pertama, pertimbangan bahwa penatagunaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kementerian LHK yang sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah badan usaha/masyarakat untuk dapat dinyatakan berada dalam kawasan hutan atau tidak.

Kedua, permintaan persyaratan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit kepada badan usaha/masyarakat dapat dilakukan setelah selesai dilakukan penetapan kawasan hutan.

Kemudian, apabila badan usaha/masyarakat dinyatakan melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, dengan adanya Penetapan Kawasan Hutan maka dapat dilanjutkan dengan proses melengkapi persyaratan perizinan di bidang kehutanan.

“Diskresi dapat dilakukan dengan alasan-alasan objektif, yaitu alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak dan rasional serta berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik,” imbuh Yeka.

Baca Juga: 1.870 Perusahaan Sawit Sudah Self Reporting, Satgas Sawit: 700 Perusahaan Belum Lapor

Yeka menambahkan, permasalahan lainnya juga dirasakan oleh Petani Sawit Swadaya, Petani Sawit Swadaya dalam hal ini yang hanya memiliki lahan seluas kurang dari 10 hektare, merasa kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif pengurusan legalitas usaha berdasarkan ketentuan UU Cipta Kerja. Hal tersebut tentu perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah.

Yeka mengatakan proses penentuan tenggat waktu 2 November 2023 adalah batas yang diambil dari tanggal diundang-undangkannya UU Cipta Kerja (UUCK) pada tahun 2020 mengacu UU Nomor 11 Tahun 2020.

Kemudian dengan adanya Putusan MK tentang penundaan dan diubah dengan UUCK (2) yaitu UU Nomor 6 Tahun 2023. Menurut Yeka, selayaknya tanggal batas akhir juga dimulai dari pemberlakuan UUCK Nomor 6 tahun 2023 tersebut.

Ombudsman menekankan bahwa pelaksanaan penatagunaan kawasan hutan harus menghormati hak masyarakat dan kepentingan nasional.

Baca Juga: Jutaan Hektare Lahan Sawit di Kawasan Hutan Akan Dilegalkan, Bisa Jadi Preseden Buruk

Dalam hal ini, penatagunaan kawasan hutan perlu memperhatikan dan mempertimbangkan produk administratif yang berkaitan dengan hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN dan Pemerintah Daerah.

Kaitanya dengan sanksi denda, Ombudsman meminta agar dilaksanakan dengan mekanisme yang meringankan untuk melindungi pelaku usaha sawit dari kebangkrutan mengingat usaha sawit merupakan lapangan kerja yang cukup besar dan memberikan kontribusi ekonomi yang cukup signifikan.

Diketahui, 2 November 2023 menjadi batas terakhir bagi pelaku usaha hingga petni untuk melakukan self reporting perizinan lahan sawit yang masuk pada kawasan hutan.

Batas waktu tersebut juga telah mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

UUCK, yang saat ini telah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 menyatakan bahwa penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan, terbagi menjadi 2 klaster tipologi sesuai dengan pasal 110A dan 110B.

Baca Juga: 3,3 Juta Hektare Lahan Sawit di Kawasan Hutan akan Dilegalkan, Ini Syaratnya

Kategori Pasal 110A adalah perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.

Sementara, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×