kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Negara lain gencar ekstensifikasi cukai, bagaimana dengan Indonesia?


Minggu, 15 September 2019 / 15:17 WIB
Negara lain gencar ekstensifikasi cukai, bagaimana dengan Indonesia?
ILUSTRASI. Remy Cointreau


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perluasan pengenaan tarif cukai atau ekstensifikasi cukai pada produk-produk yang perlu pengendalian konsumsi semakin gencar dilakukan di berbagai negara. 

Uni Emirat Arab, misalnya, belum lama ini menetapkan tarif cukai sebesar 50% untuk makanan dan minuman berpemanis. Tarif tersebut akan berlaku mulai tahun 2020 nanti, rencananya bersamaan dengan cukai terhadap perangkat dan likuid rokok elektrik.

Sejak 2017, negeri padang pasir itu juga telah memberlakukan tarif cukai sebesar 50% untuk minuman berkarbonasi, serta tarif cukai 100% untuk minuman energi. 

Baca Juga: Tarif naik, begini tren cukai rokok di negara-negara anggota OECD

Negeri tetangga Thailand, juga tengah menggodok perluasan tarif cukai untuk makanan ringan dan makanan instan yang mengandung natrium di atas 2.000 miligram (mg). Thailand sebelumnya lebih dulu menerapkan cukai pada makanan dan minuman manis pada 2017 dengan kenaikan tarif cukai secara bertahap dalam empat fase hingga Oktober 2023 mendatang. 

Di Indonesia, perluasan pengenaan cukai berjalan lambat. Sesuai Undang-Undang 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, saat ini Indonesia baru mengenal tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. 

Tarif cukai untuk kemasan plastik sekali pakai yang telah digodok selama beberapa tahun terakhir belum kunjung terimplementasi. Terakhir, kebijakan cukai plastik yang dirancang pemerintah belum mendapat restu dari DPR. 

“Pembahasan dengan kementerian dan lembaga terkait sudah selesai semua, hanya masih dibahas dengan parlemen,” tutur Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro, Jumat (13/9). 

Menurut Deni, ekstensifikasi cukai di Indonesia tak bisa dikatakan tertinggal. Pasalnya, untuk menentukan objek cukai baru perlu pertimbangan matang yang disesuaikan dengan karakteristik negara. 

Baca Juga: Tarif cukai rokok bakal naik 23%, begini tanggapan industri dan analis

Faktor industri, budaya, sosial ekonomi, dan kondisi lingkungan menjadi pembeda di setiap negara yang membuat cukai tak dapat sekonyong-konyong ditetapkan. 

“Tidak bisa setiap negara harus sama. Tapi kita juga mencermati best practices secara internasional, sejauh mana negara-negara lain menerapkan,” tutur Deni. 

Indonesia, menurutnya, memiliki peta jalan (roadmap) untuk ekstensifikasi cukai. Selain plastik sekali pakai, minuman berkarbonasi juga menjadi salah satu objek cukai yang tengah dikaji. Di luar itu, Deni masih belum mau menyebutkan objek apa lagi yang termasuk dalam roadmap ekstensifikasi cukai pemerintah. 

“Dalam menentapkan kebijakan cukai, kita juga pertimbangkan industrinya, dampak ekonominya, pengawasan dan implementasinya ke depan,” tutur Deni. 

Baca Juga: PBNU: Kenaikan cukai tembakau berdampak pada petani tembakau dan buruh tani

Direktur Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak OECD Pascal Saint-Amans dalam laporannya, Tax Policy Reforms 2019, menilai, penerapan pajak maupun cukai yang berkaitan dengan lingkungan merupakan bagian dari upaya mereformasi sistem perpajakan secara keseluruhan di berbagai negara.

“Perpajakan terkait lingkungan menjadi sumber penerimaan negara yang lebih berkelanjutan (sustainable) lantaran mengurangi ketergantungan komposisi penerimaan perpajakan yang bersumber dari pajak penghasilan tenaga kerja maupun perusahaan,” ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×