Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Donald Trump akan dilantik untuk masa jabatan keduanya sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Senin (20/1) waktu setempat. Sejumlah kebijakan Trump dinilai bisa merugikan banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, kebijakan Trump seperti kenaikan tarif impor atau langkah-langkah fiskal ekspansif di AS bisa memicu penguatan dollar AS. Penguatan dollar AS tersebut dapat mempersulit negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menghadapi biaya utang luar negeri yang berbasis dollar AS.
“Penguatan dollar AS berpotensi meningkatkan beban pembayaran utang luar negeri Indonesia, baik dalam bentuk bunga maupun pokok, karena mayoritas utang pemerintah dan swasta Indonesia masih dalam denominasi dolar AS,” tutur Josua kepada Kontan, Senin (20/1).
Josua menambahkan, penguatan dollar AS berpotensi akan meningkatkan tekanan pada mata uang negara berkembang, memperburuk kondisi likuiditas dan meningkatkan risiko aliran modal keluar.
Baca Juga: Dollar AS Menguat Bikin Utang RI Bengkak, Pemerintah: Dampaknya Terkelola dengan Baik
Selain itu, negara-negara berkembang dengan ketergantungan impor, khususnya energi dan pangan, dinilai akan mengalami kenaikan biaya yang signifikan, serta memperburuk neraca perdagangan mereka.
“Dalam menghadapi inflasi global dan nilai tukar yang melemah, bank sentral di negara berkembang mungkin terpaksa menaikkan suku bunga, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi domestik,” terangnya.
Untuk mengantisipasi utang yang membengkak, Josua membeberkan beberapa langkah yang bisa diantisipasi pemerintah. Pertama, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri berbasis dollar AS dengan mendorong pembiayaan domestik melalui penerbitan obligasi lokal.
Kedua, mengembangkan pasar obligasi hijau dan sukuk berbasis mata uang lokal untuk menarik investor internasional yang mencari diversifikasi.
Ketiga, pemerintah dan sektor swasta perlu meningkatkan penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) untuk memitigasi risiko nilai tukar.
Keempat, pemerintah perlu melanjutkan reformasi struktural melalui peningkatan daya saing ekspor untuk memperbaiki neraca perdagangan, termasuk melalui hilirisasi industri. Selain itu pemerintah perlu mendorong FDI untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Kelima, Bank Indonesia bisa mengelola cadangan devisa secara hati-hati untuk stabilisasi nilai tukar. Dari sisi fiskal, pemerintah perlu menjaga defisit fiskal pada tingkat yang terkendali untuk memastikan kepercayaan investor terhadap keberlanjutan utang.
Untuk diketahui, pemerintah menargetkan pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 642,6 triliun pada tahun 2025.
Sementara itu, pinjaman neto ditargetkan Rp 133,3 triliun, terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 5,17 triliun, dan pinjaman luar negeri Rp 128,1 triliun.
Baca Juga: Utang Luar Negeri Pemerintah Tumbuh Lebih Rendah Jadi US$ 203 Miliar
Selanjutnya: Pegawai Kemendikti Gelar Demo, Tuding Menteri Satryo Bersikap Tak Adil
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Paling Murah Sejagat s/d 23 Januari 2025, Mamy Poko Diskon Rp 10.600
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News