Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan ekonomi global menimbulkan risiko gagal bayar (default) utang bagi korporasi di kawasan Asia Pasifik (APAC). Perusahaan-perusahaan di Indonesia menjadi salah satu yang disoroti lantaran memiliki risiko ketidakmampuan membayar utang yang cukup tinggi.
Hasil stress-test Moody’s Investors Service dalam laporan terbarunya, Senin (30/9), mengungkap, India dan Indonesia menjadi negara yang paling rentan mengalami penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi.
Asisten Wakil Presiden Rebaca Tan menyebut, penilaian itu berdasarkan hasil simulasi pendapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di perusahaan-perusahaan mengalami penurunan sebesar 25%.
“Dengan kondisi itu, rasio utang terhadap EBITDA di kedua negara akan melebihi 4 dengan Interest Coverage Ratio (ICR) di bawah 1,” ujar Rebaca dalam laporan berjudul “Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen”.
Baca Juga: Moody's menetapkan peringkat B2 untuk Agung Podomoro (APLN) beserta surat utangnya
Semakin besar nilai rasio utang terhadap EBITDA, artinya proporsi utang lebih besar dibandingkan pendapatan perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil ICR, maka semakin rendah kemampuan perusahaan. menutupi beban biaya bunga utangnya.
Moody’s mencatat, sebesar 53% dari total utang korporasi di Indonesia memiliki rasio utang terhadap EBITDA di atas 4. Sementara 40% dari perusahaan Indonesia memiliki ICR di bawah 2.
Dalam konteks Indonesia, Moody’s memandang, risiko meningkat akibat potensi pendapatan perusahaan yang melemah, terutama pada perusahaan di sektor komoditas.
Selain turunnya permintaan akibat pelemahan ekonomi global, pendapatan perusahaan pertambangan juga tertekan akibat tren harga yang landai dan tingkat suplai yang tinggi, seperti pada komoditas CPO.
Di saat yang sama, kapasitas pembayaran kembali utang korporasi Indonesia juga makin terancam jika porsi utang berdenominasi valas lebih besar dan perlindungan terhadap risiko kurs (hedging) tidak memadai.
“Pinjaman korporasi berdenominasi valas tercatat mencapai 18% dari total pinjaman perbankan per Mei 2019 lalu,” tulis Moody’s.
Baca Juga: Agung Podomoro (APLN) Mempercepat Pelunasan Obligasi Rp 550 Miliar
Kabar baiknya, Moody’s menilai perbankan di kawasan APAC memiliki penyangga (buffer) yang cukup kuat yaitu dalam bentuk loan-loss reserves atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk mengantisipasi penurunan tajam kualitas aset.
Meski rasio permodalan perbankan di kawasan Asia Pasifik diproyeksi menurun sekitar 1%-4%, kemampuan buffer bank dinilai tetap memadai.
“Dampak paling signifikan akan dialami oleh perbankan di India, Indonesia, Korea, dan Thailand. Tapi, Indonesia, Korea, dan Thailand memiliki bantalan rasio permodalan yang cukup tinggi,” tutur Rebaca.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News