Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) hingga kini belum selasai. Sejak dimulai pada pukul 14.00 WIB tadi siang, persidangan telah diskors dua kali. Kini majelis hakim kembali melanjutkan proses pembacaan putusan PHPU.
Selama persidangan, majelis hakim telah menimbang sejumlah poin yang menjadi dalil dalam perkara tersebut. Beberapa pertimbangan yang sudah dibacakan diantaranya rekapitulasi hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang dianggap kubu pemohon yaitu calon presiden Prabowo Subianto salah.
Namun demikian, majelis hakim menilai tudingan tersebut tidak terbukti. Menurut majelis hakim Muhammad Ali, jumlah suara yang ditetapkan KPU merupakan hasil rekapitulasi suara dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga pusat, tanpa adanya keberatan dari pihak saksi manapun. “Karena itu, maka dalil pemohon tidak terbukti,” ujar Muhammad.
Seperti diketahui hasil penghtiungan KPU, jumlah suara yang diperoleh pasangan Prabowo-hatta mencapai 62.576.444 suara, dan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf kalla sejumlah 70.997.833. Namun menurut pihak Prabowo, jumlah suara yang sebenarnya sebanyak 67.139.153 untuk Prabowo-Hatta, dan sebanyak 66.435.124 untuk pasangan Jokowi-JK.
Selain itu, majelis hakim juga menilai tudingan adanya penggelembungan jumlah Daftar Pemilih tetap (DPT) tidak dapat dibuktikan. Selain itu seharusnya jika Prabowo keberatan dengan jumlah DPT, keberatan tersebut diajukan sejak proses pemilihan umum dimulai. Hal itu sesuai dengan Undang-undang nomor 42 tahun 2008 pasal 29 ayat 1.
Hal lainnya, yang dinilai majelis hakim tidak dapat dibuktikan kubu Prabowo adalah mengenai kecurangan karena tidak dlaksanakannya pemungutan suara disejumlah daerah, terutama di daerah papua. Menurut majelis hakim pemungutan suara di papua terutama di beberapa daerah yang menggunakan hukum adat memang memakai sistem noken atau sistim ikat.
Dimana, dalam pelaksanaannya, masyarakat adat akan memberikan suaranya secara musyawarah dengan kepala suku setempat. Untuk kemudian suara tersebut secara aklamasi akan diberikan kepada salah satu calon. Hakim juga menilai pelaksanaan sistim tersebut tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News