Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengakui, inovasi di Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lain.
Menurutnya hal ini dibuktikan dari Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF).
Dalam laporan tersebut, posisi posisi Indonesia menurun posisi ke-45 menjadi ke-50, di mana kapasitas inovasi (innovation capacity) hanya menempati ranking 74 sedunia.
Baca Juga: Menristek bilang Indonesia belum layak disebut negara maju, kenapa?
Bambang menjelaskan terdapat berbagai alasan mengapa inovasi di Indonesia masih terkendala. Pertama, adalah sumber daya manusia. Menurut Bambang, jumlah dan kualitas sumber daya di Indonesia memang belum sesuai standar negara lain.
Ini bisa dilihat dari penelitian berkualifikasi S3 yang masih rendah, rasio peneliti terhadap jumlah penduduk yang kecil hingga masalah produktivitas peneliti.
"Jadi mau tidak mau sesuai dengan prioritas 5 tahun ke depan, yang fokus pada SDM, maka kita juga harus serius membenahi SDM di bidang ristek,, sebagai sumber lahirnya inovasi di kemudian hari," ujar Bambang, Senin (24/2).
Tak hanya terkait kurangnya SDM, Bambang juga memandang adanya birokrasi di kelembagaan riset menjadi alasan riset dan inovasi tak berkembang.
Menurut Bambang, riset dan birokrasi tidak bisa disatukan. Dia berpendapat, riset tidak bisa berkembang bila ada jenjang struktural dengan rumitnya birokrasi seperti saat ini.
Ini menyebabkan, riset hanyalah suatu kegiatan dan penyerapan anggaran karena hal tersebut merupakan kinerja birokrasi. Melihat ini, Bambang pun berpendapat perlu ada debirokrasi dari penelitian.
Selanjutnya, sulitnya menetapkan fokus riset. Dia membeberkan, walaupun prioritas riset nasional sudah ditetapkan, tetapi fokusnya masih dalam kuantitas yang banyak.
Baca Juga: Catat, sektor-sektor ini bisa menjadi andalan di tengah ketidakpastian global
Sementara, bila kuantitas fokusnya banyak, artinya tidak ada yang menjadi prioritas. Menurutnya inilah yang harus dibenahi ke depan.
Lebih lanjut, Bambang pun mengungkap masalah sumber dana. Menurut Bambang, sumber dana riset di Indonesia masih sekitar 0,25% dari GDP. Angka ini lebih rendah dibandingkan dana riset di Korea Selatan yang bisa lebih dari 4%.
Bukan hanya anggarannya yang terbatas, sumber pendanaan tersebut pun berasal dari pemerintah dengan porsi hingga 80%, sementara swasta hanya 20%.
"Ini membuat riset tidak akan maju, karena riset tidak didorong oleh kebutuhan yang riil. Beda dengan negara Korea, Thailand, dan Jepang yang risetnya didominasi swasta 70-80%. Mengapa ini ideal, karena swasta yang mengetahui apa yang menjadi kebutuhan di pasar yang membutuhkan riset dan inovasi bukan pemerintah," tutur Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News